PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Sebagai salah satu negara  yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas tetapi juga kaya dengan sumber daya alam. Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144 juta hektar sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan puluhan ribu jenis tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi perkembangan populasi ikan dan hasil perairan lainnya. Demikian pula dengan buminya yang mengandung deposit berbagai jenis mineral dalam jumlah yang tidak sedikit.
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) merupakan suatu hal yang sangat penting  dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita.  Dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumber daya alam ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia.
Namun demikian perlu kita sadari eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanaan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya.
Apabila kita melihat pada UUD 1945 mengenai pengelolaan sumber daya alam, dalam Pasal 33 ayat 2,  “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pada ayat 3: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya pengelolaan sumber  daya alam yang ada di manapun termasuk di hutan ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tentunya bukan hanya terpenuhinya sandang, pangan dan papan tapi juga terakomodirnya hak-hak rakyat sebagai warganegara, termasuk hak untuk mengelola sumber daya alam.
Maka dari itu, dalam makalah kali ini kami mengambil judul “Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia” untuk mengetahui lebih jelas tentang penerapan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tentang sumber daya alam di Indonesia ini. Apakah sudah dilaksanakan dengan sebenar-benarnya atau hanya menjadi monopoli saja.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari sumber daya alam?
2.      Apa saja kekayaan alam yang ada di Indonesia?
3.      Bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
4.      Apakah ada monopoli dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
5.      Apakah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah sesuai dengan UUD I945?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari sumber daya alam.
2.      Untuk mengetahui kekayaan alam yang ada di Indonesia
3.      Agar dapat memahami cara pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
4.      Agar kita mengetahui fakta apakah ada monopoli pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
5.      Agar dapat memastikan apakah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah sesuai dengan UUD I945.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian sumber daya alam
Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible). Sumber daya ada yang dapat berubah, baik menjadi semakin besar maupun hilang, dan ada pula sumber daya yang kekal (selalu tetap). Selain itu, dikenal pula istilah sumber daya yang dapat diperbaharui dan atau sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. sebagai contoh sumber daya yang dapat di perbaharui diantaranya tumbuhan dan hewan. Dalam hal ini sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi dan gas, batudara, dan jenis tambang lain yang masuk ke dalam jenis sumber daya alam. Sumber daya terbagi atas dua jenis yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya alam menjadi faktor yang sangat penting karena sumber daya alam adalah salah satu unsur utama dalam proses produksi. Tanpa adanya sumberdaya alam maka akan sulit terjadi proses produksi.
Kekayaan dan potensi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dilihat dari potensi lahan pertanian, air dan udara, hutan, laut dan pesisir. Selama ini berbagai sumber daya tersebut sudah dimanfaatkan, meskipun dalam prakteknya belum dikelola secara optimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi dan kemanfaatan yang cukup signifikan bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
2.2 Kekayaan alam yang ada di Indonesia
2.3 Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
            Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya berada pada negara. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Indrawati, ibid).
Jiwa dari Pasal 33 UUD 1945 yang berlandaskan semangat sosial, menempatkan penguasaan terhadap berbagai sumber daya untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol tidak tanduknya, apakah sudah menjalankan pemerintahan yang jujur dan adil, dapat dipercaya (accountable), dan transparan (good governance).[1]
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dengan melihat berbagai aspek kehidupan terkait penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) sudah saatnya menjadi acuan sekaligus sebagai patokan untuk ditetapkan dan diterapkan. Mengingat sumber ekonomi dan kekayaan di negeri ini tidak lagi menjadi monopoli semata, melainkan berasaskan kebersamaan dan kemerataan secara berkelanjutan. Sumber kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang ataupun seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat dibenarkannamun fakta saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha, bisnis dan investasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam sedikit banyak bertentangan dengan prinsip pasal 33.
Bunyi pasal 33 UUD 1945 ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Sebagai pengingat sederet catatan-catatan terkait ketimpangan pemerataan ekonomi di Negeri ini tidak kunjung henti hinggap dan datang silih berganti tanpa ada kontrol terus menjadi biang persoalan. Pertama, pengerukan dan kerusakan sumber daya alam dalam hal ini eksploitasi tanpa melihat aspek keberlanjutan dari nasib alam dan lingkungan serta manusianya. Pembukaan lahan secara besar-besaran berpengaruh pada (hutan dan satwa-satwa), hutan semakin menipis dan habitat hidup satwa kian menyempit dan terjepit, belum lagi ditambah dengan lemahnya pengawasan dan tata kelola yang mengabaikan arti penting fungsi dan manfaat lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup. Pencemaran, semakin seringnya bencana terjadi membuat semakin sulitnya bertahan hidup. Kedua, Semakin meluasnya laju kerusakan lingkungan dan investasi dari investor (pemilik modal dan pelaku pasar) secara tidak sengaja dan tidak terkendali berimbas kepada hak-hak masyarakat yang terabaikan. Keadilan dan pembiaran akan berbagai sumber konflik terjadi, perebutan lahan, pembagian hasil yang sedikit banyak menimbulkan pengaruh sosial dan ekonomi masyarakat. Kesenjangan terjadi, ketimpangan ekonomi masyarakat menyulut aksi dan berakhir pada sebuah dilema baru bernama Kejelasan pedoman atau aturan yang terabaikan. Ketiga, Pengelolaan SDA tidak terkontrol. Pengelolaan SDA yang dimaksud adalah minimnya fungsi pengawasan, hukuman, tata kelola dan kebijakan menyangkut persoalan-persoalan lingkungan, sehingga menjadi bias keberadaan ketersediaan kekayaan alam yang kian memprihatinkan. Sampai saat ini fungsi pengawasan dan regulasi hanya sebatas syarat tanpa adanya penetapan. Keempat, Kewajiban dan tanggungjawab dari perusahaan-perusahaan untuk mentati Amdal, membuat kawasan sebagai area hijau dan area konservasi bagi satwa dan tumbuh-tumbuhan dilindungi sepertinya banyak diantara perusahaan enggan menerapkannya. Hal ini tentu saja menjadi sangat rancu ketika hanya sebatas wacana dan seelogan belaka. Kelima, pasal 33 ayat (4) menyebutkan, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Namun, kemakmuran bagi seluruh rakyat berbalik menjadi penguasaan bagi seluruh rakyat. Kebersamaan berubah menjadi monopoli yang cenderung mengabaikan kemajuan dan berpotensi memancing isu-isu perpecahan di beberapa daerah. Mengingat keadilan, kesetaraan, penghargaan hak-hak masyarakat dan kemakmuran tergolong terabaikan. Sumber daya alam terkuras dan derita semakin parah, kemiskinan kian bertambah.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Selanjutnya dikatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.
Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat. “Mendua” karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
Sedangkan pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal 33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas. Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan dan ari generasi ke generasi telah berdagang kayu, harus diputuskan dari ekonomi kayu. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para pemegang Hak Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini malah disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan hak rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur
Begitu pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan dibidang pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah dan Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai PETI=Pengusaha Tambang Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar. Dengan logika yang sama seperti di sektor kehutanan, penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang baik, sehingga ‘layak’ digusur hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.
Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah kesektor pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini tidaklah langsung ‘menetas’ pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan “malu-malu kucing”. Jiwa sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan dan monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan apapun kepada rakyat kecil.
Era perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara “kagok”, kita harus mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung dalam konstitusinya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRAKTIKUM KESETIMBANGAN BENDA TEGAR

MAKALAH ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH