Cerita Pendek- SELEPAS HUJAN REDA

SELEPAS HUJAN REDA

            Yuuta, seorang laki-laki berkebangsaan Jepang sedang berdiri dipinggir jembatan sambil mendekapkan tangannya di dada. Menahan dingin. Malam ini masih pukul tujuh, namun jembatan yang biasanya ramai dilalui orang itu kini sudah sepi. Mungkin karena malam ini udara sangat dingin, bintang-bintang pun banyak yang bersembunyi dibalik awan. Namun Yuuta tetap bersemangat menantikan seseorang. Laki-laki itu bahkan tak memerdulikan cuaca yang tidak baik. Membayangkan bertemu orang itu saja membuat Yuuta bersemangat. Ia menikmati setiap detik menantikan orang itu, gadis yang dicintainya. Gadis yang terakhir dijumpainya tiga tahun lalu, gadis yang tiga tahun lalu selalu mengganggunya.
            “Yuuta” sapa gadis itu dengan manja.
            “Kau lagi, ada apa? Apa kau tidak melihat aku sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen?” jawab Yuuta.
            “Kau selalu saja sibuk, padahal aku menyempatkan bertemu denganmu.”
            “Apa aku menyuruhmu?” ujar Yuuta.
            “Kau sangat menyebalkan.” Kata gadis itu kemudian duduk disamping Yuuta. Gadis itu melihat buku tergeletak dipangkuan Yuuta. Ia pun mengambilnya dan menuliskan tanda tangannya diatas buku itu.
            “Hentikan, Mika!” ujar Yuuta sambil menarik buku yang dipegang oleh gadis itu dan menghapus tanda tangannya.
            “Kau tahu aku sedang mencoret bukumu dengan tanda tangan manisku? Bukankah itu berarti kau memperhatikanku?” ujar Mika sambil tersenyum riang penuh kemenangan.
            Yuuta hanya diam, berpura-pura tak mendengar dan melanjutkan tugasnya.
            Suara langkah kaki yang mendekat membuat Yuuta menoleh kesumber suara, membiaskan ingatan masa lalu yang baru ia lamunkan. Yuuta menghembuskan napas panjang. Ternyata bukan suara langkah gadis yang sedang ditunggunya. Yuuta mencoba menenangkan diri, lebih bersabar dan menikmati penantiannya. Ia berpikir mungkin Mika masih bingung memilih pakaian untuk bertemu dengannya. Bosan menunggu, Yuuta pun memainkan ponselnya. Membaca lagi email yang diterimanya dua hari lalu. Email dari Mika. Email yang membuatnya tidak bisa tidur. Email yang isinya ajakan untuk bertemu di tempat biasa. Membuat Yuuta tersenyum dan lebih menikmati penantiannya.
            “Yuuta, maukah kau mengantarkanku beli es krim?” ujar Mika di suatu siang.
            “Kau hanya tinggal berjalan beberapa langkah ke kantin kampus ini.” ujar Yuuta.
            “Tidak. Aku ingin membeli diluar kampus, apa kau tidak bosan mengerjakan tugasmu terus menerus?” Mika menarik tangan Yuuta untuk bangkit dari tugas-tugas menjemukan yang selalu dikerjakannya.
            “Sudahlah, aku menyukai apa yang ku lakukan. Jika kau ingin pergi maka pergilah sendiri.”
            “Baiklah.” Ujar Mika sambil pergi meninggalkan Yuuta.
            Yuuta melihat punggung gadis itu berlalu, kemudian mengalihkan pandangannya kepada tugas-tugas yang entah mengapa tiada hentinya. Ia pun segera menutup tugas itu dan menyusul gadis kecil yang sudah berjalan beberapa langkah didepannya.
            “Apa yang kau lakukan? Bukankah kau sedang sibuk dengan tugasmu?” kata Mika.
            “Menurutmu apa yang kulakukan? Tentu saja aku keluar untuk membeli barang yang kubutuhkan dalam menyelesaikan tugas mata kuliahku.”
            “Apa barang itu tidak ada disini sampai kau membuang waktumu untuk pergi keluar?”
            “Sudah diamlah.” Kata Yuuta dingin.
            Mika tersenyum, “baiklah sekalian antarkan aku beli es krim” ujarnya, ia pun menggenggam tangan Yuuta dan menariknya untuk berlari.
            Air bening yang menetes dari langit membuatnya tersadar dari belaian kenangan, Yuuta menoleh keatas dan melihat benar-benar tak ada bintang. Malam ini gelap, dingin, dan sepi. Ia bertanya apakah Mika akan datang. Tapi sekali lagi hatinya meyakinkan bahwa Mika pasti datang. Titik-titik air yang menetes dari langit menjadi berukuran besar. Hujan turun dengan lebat. Melengkapi cekaman malam ini. Yuuta mengintip jam tangan dibalik kemejanya, pukul delapan lewat tujuh. Satu jam lebih ia menunggu. Ia menyesal tak membawa payung atau jaket. Namun tak apa baginya, sudah lama ia tidak mandi hujan dan sibuk akan pekerjaannya. Kini ia mencoba lebih menikmati lagi penantiannya.
            Sementara di lain tempat, di sebuah café bernuansa kuno, seorang perempuan dengan gaun berwarna merah sedang duduk manis. Tampak dari air mukanya perempuan itu sedang gelisah. Sesekali perempuan itu menengok jam tangannya dan mengetuk ujung jarinya ke meja berkali-kali. Perempuan itu memanggil pelayan, memesan secangkir cappuccino panas untuk menghangatkan tubuhnya. Sesekali ingatannya kembali ke masa lalu, masa yang ingin dilupakannya. Tiga tahun silam.
            “Yuuta ada apa denganmu sehingga kau terlihat begitu murung?” kata Mika ketika menemui Yuuta di jembatan.
            “Tugasku ditolak oleh dosen.”
            “Benarkah? Kulihat kau sudah bekerja keras. Apa yang kau lakukan disini? Setiap aku mencarimu dan kau taka da dikampus pasti kau ada disini.”
            “Aku menyukai jembatan ini. Begitu tenang.” Jawab Yuuta.
            “Hahaha, sudahlah. Jangan larut dalam kesedihan. Disini begitu sepi, ayo ikut aku. Aku akan membawamu ke keramaian dan menghilangkan sedihmu.”
            “Cukup Mika. Berhentilah bermain-main. Kau punya segalanya, kau bisa menyelesaikan setiap mata kuliahmu dengan mudah. Tapi aku? Tidak. Aku harus berjuang dengan keras, itupun masih gagal.” Kata Yuuta. “kau tahu kenapa aku gagal?”
            “Maafkan aku.” Ujar Mika. “Aku selalu mengganggumu.” Lanjutnya.
            “Baguslah kau sadar, sekarang berhentilah menggangguku. Aku datang jauh dari Jepang meninggalkan keluargaku dan berada di Indonesia bukan untuk bersenang-senang. Aku disini untuk belajar.” Kata Yuuta.
            “Aku mengerti.”
            “Bagus. Berhentilah mencariku, menggangguku, atau apapun itu. Panggil aku kemari hanya jika itu benar-benar penting.” Ucap Yuuta, lalu berlalu meninggalkan Mika yang mematung tak percaya.
            “Baiklah jika itu maumu.” Ucapnya pada sosok yang meninggalkannya.
            Pelayan datang membawakan secangkir cappuccino panas. Mika tersentak, ia bangun dari lamunannya. Ia membiarkan minuman itu tergeletak di meja. Mika menengok jam tangannya lagi, pukul delapan lewat duapuluh. Satu jam lebih ia menunggu disini. Ia sedikit kesal. Mika berpikir apakah mungkin Yuuta menganggap pertemuan setelah tiga tahun ini tidaklah penting. Ah tidak, Mika membuang segala pikiran buruknya. Ia pun memainkan ponselnya. Melihat email yang ia kirim kepada Yuuta. Deg! Jantungnya serasa berhenti berdenyut sedetik. ‘aku menunggumu di tempat biasa’ bunyi pesan terakhir yang ia kirimkan. Mika ingat sekarang, tempat ia biasa bertemu Yuuta bukanlah disini. Tempat ini tempat biasa antara Mika dan orang lain, ketika sadar ia langsung berlari menuju pintu.
            Ketika membuka pintu Mika terkejut melihat hujan turun dengan lebat, ia segera memanggil taksi. Kini ia benar-benar berharap Yuuta tidak datang. Mika berpikir apa yang dilakukan Yuuta ditengah hujan begini. Mana mungkin Yuuta menunggu. Yuuta pasti pulang. Yuuta harus pulang. Tapi apa yang dipikirkan Mika tak sesuai dengan kenyataan yang ada, ketika Mika berlari keluar dari taksi menuju jembatan, ia melihat sosok yang dulu meninggalkannya tengah meringkuk sendirian. Menahan dingin. Hujan tinggal rintik-rintik, Mika melihat jam tangannya, pukul sembilan lewat empat.
            “Maafkan aku, aku benar-benar bodoh, aku malah menunggu begitu lama di tempat yang salah, aku membiarkanmu kehujanan disini, maafkan aku, aku―”
            “Sudah, sudahlah. Sudah kumaafkan. Melihatmu disini saja sudah membuatku senang, kau sama sekali tidak berubah.” Yuuta tersenyum dengan bibirnya yang mulai membiru. Entah berapa jam ia berada dibawah hujan.
            “Kau pucat sekali, ayo kita cari tempat yang hangat dan mengganti pakaianmu yang basah, disini masih gerimis.” Kata Mika.
            “Tidak, aku baik-baik saja. Oh ya ada apa kau menemuiku? Ada hal penting apa?” Tanya Yuuta.
            “Eh, itu..”
            “Ah aku tahu, kau pasti merindukanku. Kau pasti rindu saat-saat menggangguku seperti dulu. Hahaha.. tahukah kau selama kau pergi aku juga rindu. Aku juga rindu saat-saat kau menggangguku. Aku menyadarinya ketika kau pergi.” Ucap Yuuta bersemangat.
            “Yuuta…”
            “Oh iya, maafkan aku. Kau masih ingat tiga tahun lalu saat aku berdiri disini? Aku terbawa emosi jadi aku mengatakan hal yang tak seharusnya kukatakan padamu. Aku benar-benar menyesal.”
            “Tak apa.”
            “Mika, kau sudah lebih dewasa sekarang. Aku benar-benar menyesal, seharusnya aku mengakui perasaanku sedari dulu. Selama ini aku selalu diserang rindu. Setiap aku ingin mengirim pesan padamu aku diserang rasa gengsi.” Ucap Yuuta. “sesungguhnya, aku menc―”
            “Cukup Yuuta.” Kata Mika, “hentikan.” Lanjutnya. Mika menundukkan kepalanya. “semua itu hanyalah masa lalu. Masa laluku yang seperti orang bodoh yang selalu mengganggumu.” Mika tersenyum.
            “Apa maksudmu?”
            “Kau benar aku memang rindu padamu, tapi aku disini untuk memberitahumu bahwa aku akan menikah.”
            “Menikah?” Yuuta terkejut.
            “Iya, aku akan segera menikah dengan Anggara. Aku datang kemari untuk memberitahumu hal itu. Aku ingin kau datang ke pernikahanku.”
            “Tapi.. tapi kenapa?”
            “Karena aku mencintainya.”
            “Kukira kau.. hentikan kekonyolan ini Mika, sudah jangan bercanda. Aku tahu kau ingin menggodaku kan?”
            “Tidak.” Mika mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini undangannya.”
            “Tapi.. aku menunggumu selama tiga tahun ini.”
            “Apa aku menyuruhmu? Aku tidak menyuruhmu untuk melakukan hal bodoh dengan menungguku. Kuakui, aku memang mencintaimu. Tapi itu dulu. Aku selalu mendekatimu, mencari perhatianmu, memerdulikanmu, yang kau anggap semua itu sebagai gangguan untukmu. Aku lelah… aku lelah terus mengejarmu. Aku merasa kau terlalu jauh untuk kugapai.” Mika mengalihkan pandangannya kelangit. Mencari kekuatan untuk mengatakan apa yang harus ia katakan selanjutnya.
            “Ketika kau menyuruhku pergi, aku terluka. Sangat terluka. Tapi saat itu aku sadar, usahaku memang harus diakhiri. Lalu Anggara datang, memberiku kekuatan, menyemangatiku, melakukan hal yang dulu kulakukan padamu, dan itu membuatku nyaman.” Ucap Mika. Mika melihat sosok yang ada didepannya begitu terpukul, tapi itulah kenyataan.
            “Tidak Mika, aku tidak percaya.” Yuuta menggigit bibir bagian bawahnya, menahan tangis. “Apa kau mencintaiku?” kata Yuuta kemudian.
            Mika menggelengkan kepala.
            “Katakan Mika, katakan kau tidak mencintaiku.”
            “Bukankah kau tahu itu memang benar.” Mika memalingkan pandangan. Tidak mau melihat Yuuta.
            “Tatap aku, tatap aku dan katakan kau tidak mencintaiku.” Kata Yuuta sambil menggoyangkan bahu Mika.
            Mika menatap Yuuta. “Aku mencintai Anggara.” Kemudian Mika berlalu pergi, meninggalkan Yuuta yang masih mengira ini adalah mimpi.

            Yuuta menengok kelangit, berharap hujan turun dengan deras. Ia berharap hujan turun seperti tadi, ia berharap air hujan turut menghanyutkan air matanya yang tak berhenti menetes. Tapi hujan tak turun dengan lebat. Yang ada hanya dingin, dingin yang mencekam. Yuuta berharap rasa sakit ini segera hilang. Tapi ketika ia melihat kebawah, kearah undangan pernikahan itu tergeletak, rasa sakitnya tiba-tiba menyerag dan menusuk jauh sangat dalam kehatinya. Hujan, ia hanya berharap hujan turun lebat lagi mengguyur tubuhnya saat ini. Tapi hujan tak lagi datang, hujan sudah reda. Dan selepas hujan reda Yuuta hanya bisa menyesali apa yang ia lakukan pada orang yang mencintainya tiga tahun lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRAKTIKUM KESETIMBANGAN BENDA TEGAR

MAKALAH ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA