Cerpen~ DUKA KALA PURNAMA
DUKA
KALA PURNAMA
Malam ini bulan penuh, bulan benar-benar indah saat
bersinar begitu terang. Setidaknya itulah menurutku saat melihat pemandangan malam
ini. Begitu damai, bintang mengelilingi sang bulan bagaikan bulan lah ratu
kedamaian malam ini. Seperti biasa, aku menghabiskan malamku dengan berkeliling
entah kemana. Setidaknya aku bersyukur dilahirkan menjadi seorang laki-laki,
jadi aku tak perlu khawatir meski berkeliaran ditengah malam begini.
Tiba-tiba langkahku terhenti didepan sebuah taman
bermain, aku melihat seseorang meringkuk dibalik ayunan. Aku ingin
membiarkannya dan terus berjalan, tapi entah kenapa kakiku seperti tersedot
olehnya. Entah atas dasar khawatir atau apa, aku menghampirinya. Akhirnya
kutahu dia seorang gadis. Dia memakai baju tidur bermotif kodok, ada pita
berwarna hijau dikepalanya yang kurasa cocok dengannya. Tapi seharusnya bukan
itu yang menjadi fokus penglihatanku, aku tidak bisa melihat wajahnya. Wajahnya
bersembunyi dibalik kedua tangan mungilnya.
“Hei kau, apa yang kau lakukan disini tengah malam
begini?” sapaku. Entah itu merupakan sapaan atau apa, tapi itulah yang
kukatakan padanya pertama kali.
“Mengapa kau hanya diam? Aku mengajakmu berbicara.” Ucapku.
Tapi gadis itu tetap menyembunyikan wajahnya. Dia tidak berkata apa-apa. “Jika
seorang gadis malam-malam ditempat sepi begini, akan berbahaya. Kau bisa―”
“Diamlah, Miko.”
Akhirnya adis itu bersuara. Tunggu! Dia tahu namaku? Aku juga
sepertinya pernah mendengar suaranya. Tapi dimana? Ah! Dia pun menjauhkan kedua
telapak tangan yang menutupi wajahnya, aku bisa melihatnya. Rupanya dia. Shina.
Aku mengenalnya, kami bersekolah di SMA yang sama. Dia gadis yang aktif dan
periang, bahkan bisa kukatakan keaktifannya itu berlebihan. Tentu saja aku
tahu, dia teman sekelasku. Tapi mengapa dia disini?
“Shina? Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Kau begitu pendiam di kelas, kau tak banyak bicara, aku
terkejut kau mengenalku.” Ucapnya sambil mengusap kedua matanya, aku tahu ada
kerlipan yang membekas disana.
Aku memutuskan untuk diam dan tak bertanya, aku tau dia
pasti punya alasan tersendiri untuk berada disini, sama sepertiku. Aku pun
menemaninya duduk dibawah ayunan bersamanya. Hening menyelimuti kami berdua, dia
terus memandang langit. Menatap indahnya purnama yang tadi baru kukagumi. Aku merasakan
halusnya hembusan angin. Kuberikan jaket yang kupakai padanya.
“Ini.” ucapku sambil memberikan minuman yang dari tadi
kubawa.
“Terimakasih.” Katanya, ia menenggak minumanku dengan
cepat. Aku menyesal baru memberikan itu padanya.
“Hei Miko.” Bisiknya. Aku menoleh padanya, dia tetap
memandang langit. “Apa kau ingin menjadi bulan?” lanjutnya. Aku diam. Tak tahu
harus menjawab apa. “bulan punya banyak teman, diatas sana kau bisa melihat
para bintang membantu bulan melaksanakan tugasnya menyinari bumi. Dia tidak
kesepian.”
“Iya sepertinya begitu. Menyenangkan sekali menjadi
bulan.” Jujur aku juga tidak tahu apa yang baru saja kukatakan, aku hanya
terbawa suasana dan larut dalam pembicaraan tentang bulan.
“Apa kau kesepian, Miko?” katanya, dia tetap melihat
bulan. Aku diam. Tidak menjawab, hanya menghembuskan napas panjang. “Aku
kesepian.” Bisiknya. Aku mendengar tidak begitu jelas, tapi kuyakin itu yang
dia ucapkan.
“Shina…”
“Terkadang mereka tidak tahu bahwa yang mereka lakukan
hanya akan menambah beban.” Ucapnya sambil tetap memandang langit, aku tak
begitu mengerti apa yang ia katakan. Tapi aku mencoba diam dan tak bertanya. “Apa
yang tak ingin kudengar justru itu yang tiap hari kudengar.” Ada penekanan
dalam kata-katanya. “apa yang tak seharusnya kutahu justru memaksaku untuk
lebih tahu.” Ungkapnya.
“Eh―” aku menahan diriku untuk bertanya, Shina
memandangku sekilas. Lalu kembali mengarahkan pandangannya kelangit.
“Terkadang aku memilih menutup telinga dan masa bodoh,
tapi apa yang bisa kubuat jika pikiranku memaksa untuk terus memahami? Bisakah mereka
mengerti? Setidaknya tunggu aku taka da barulah mereka berdebat. Aku lelah ikut
campur urusan mereka, tapi keadaan memaksaku ikut campur.” Jelasnya dengan
masih memandang langit yang sama.
Sepertinya kini aku mengerti arah pembicaraannya, aku
mengeri siapa ‘mereka’ yang ia maksud.
“Aku ingin diam, tapi keadaan memaksaku bicara. Aku berusaha
tidak memihak, tapi hatiku terpatri di satu pihak. Terkadang aku merasa benci,
terkadang aku menjerit terluka. Aku bisa tersenyum, aku bisa tertawa, semua itu
hanya sandiwara. Aku sungguh pandai bermain drama.”
Aku tersentuh. “jika ada yang ingin kau ucapkan kepada
mereka, apa itu? apa yang akan kau katakan pada mereka?” tanyaku.
“Jika aku boleh berkata, hanya sekali saja, aku ingin
bicara…” aku tak percaya dia akan menjawab pertanyaanku. “aku ingin.. aku… aku
ingin mengatakan…” dia terlihat sangat sulit mengatakan apa yang ia ingin katakan.
“Lihatlah aku, anggaplah aku mereka. Katakan apa yang
ingin kau katakan.” Ucapku.
Shina menoleh kearahku, wajahnya ada didepanku. Aku bisa
melihat dengan jelas. Aku mengerti mengapa ia memandang langit sedari tadi, ia
membendung air matanya. Ia menahan air matanya agar tidak menetes. Entahlah,
aku tak tahu harus apa. Aku memegang pundaknya, berusaha menguatkannya.
“Aku tahu kalian tidak bisa seperti dulu lagi! Aku tahu
kita takkan bisa kembali seperti dulu! Tapi setidaknya lakukan apa yang
kuinginkan! Aku mau kalian juga bersandiwara, aku mau kalian bermain drama sama
sepertiku. Meskipun amarah kalian meluap-luap, tersenyumlah seolah tak ada
apa-apa. Setidaknya tahanlah amarah kalian sampai aku tidak ada.” Jeritnya padaku,
aku terpukul. Tapi kutahan. “aku mau kalian lakukan itu setiap hari, setiap
saat, setiap waktu. Akupun juga akan melakukan hal yang sama, aku akan bermain
drama setiap waktu. Aku akan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa dan semua
baik-baik saja. Mari bersandiwara, mari bermain drama setiap hari. Sampai..
sampai kita lupa kalau kita sedang bermain drama.”
Ada kekuatan dalam setiap kata-kata yang ia keluarkan. Ada
keinginan yang dalam pada setiap ucapannya, Shina menutup wajahnya dan menangis
dibalik kedua tangan itu. Lama sekali ia menangis, setidaknya dia sudah lega
mengungkapkan seluruh isi hatinya. Aku hanya bisa melihatnya, melihat gadis
yang biasa ceria dikelas kini meronta tak berdaya. Malam semakin larut, angin
yang berhembus juga semakin dingin menusuk kulit.
Shina terdiam, ia memandang langit lagi. Aku menatapnya,
dia kemudian mengalihkan pandangannya dari langit dan menatapku. Aku melihat
mata itu, mata itu… mata yang sama. Mata yang pernah kulihat sebelumnya. Shina kemudian
menyandarkan kepalanya kebahuku. Aku sempat terkejut, tapi aku diam dan
membiarkan dia tertidur disana. Saat melihat kesedihan Shina, saat menatap matanya. Saat itu
aku sadar…
Aku tidak sendirian.
Komentar
Posting Komentar