Bloody House (Cerita Misteri)

disini ada yang suka baca-baca cerita misteri nggak? kalo ada nih ada cerita misteri aku buat. baru dua kali coba bikin cerita yang genre nya misteri sih, dan pastinya harus banyak belajar juga. Tapi.. semoga kalian suka ^^

Bloody house
            Bola itu sudah terlempar jauh kearah pekarangan saat aku hendak menangkapnya. Bola yang seharusnya kutangkap kini ada di pekarangan. Kuulangi, bola itu ada di sebuah pekarangan. Pekarangan rumah. Disini bukan pekarangan yang jadi masalah, tapi rumahnya. Rumah itu tak berpenghuni, tidak ada satu orangpun yang punya nyali untuk memasuki rumah itu. Bahkan untuk mendekat saja sudah tidak ada yang berani. Konon menurut cerita turun-temurun dari para orang tua, siapapun yang masuk kerumah itu maka tak akan selamat lagi. Nyawanya akan melayang dan darahnya akan berceceran dimana-mana. Maka dari itu, rumah itu dikenal sebagai Rumah Berdarah.
Aku akan menceritakannya pada kalian. Rumah itu berada di ujung paling utara kampung kami, rumah tua yang sudah lapuk itu sangat besar, menghadap kearah datangnya matahari. Pekarangan rumah itu cukup luas, dan rumah itu dikelilingi banyak pohon bambu yang menjulang tinggi serta sangat rimbun, yang membuat rumah itu tetap gelap meskipun di siang hari. Orang kampung kami biasa menyebut pepohonan bambu itu dengan istilah barongan. Di kanan kiri sepanjang jalan menuju rumah itu juga ada barongan, sehingga orang kampung jarang bisa melihat rumah itu dengan jelas. Namun, disebelah selatan rumah itu tidak banyak barongan, hanya pohon sengon yang masih kecil. Agak jauh dari sana ada sebuah lapangan luas, tempat anak-anak kampung bermain. Sehingga anak-anak yang biasa bermain di lapangan bisa melihat betapa mengerikan rumah itu.
“Panca! Ambillah bola itu! kau yang seharusnya menangkap bola!” teriak salah seorang temanku, Bara.
“Bagaimana mungkin? Bolanya masuk kedalam rumah itu! Kita mana boleh masuk kesana!” jawabku.
“Kita memang tidak masuk kesana, tapi kau yang masuk!” ujar Marta, saudara kembarku. Aku tak percaya dia bisa mengatakan itu dan menyuruhku masuk kesana.
Aku hanya diam tak menanggapi, aku tak punya kata-kata untuk melawan teman-temanku. Bara yang menendang bola hingga masuk kerumah itu, dan meskipun aku yang seharusnya menangkap bola, menurutku Bara yang bertanggung jawab dan mengambil bolanya. Tapi aku tidak punya keberanian untuk membantah.
“Kau merusak permainan ini, aku tak mau berteman denganmu!” ujar Bara. Satu per satu temanku yang ada disana pergi meninggalkanku. Hanya aku yang tersisa dilapangan luas ini. aku memilih duduk dibawah pohon dan bermain rumput, sesekali kutengok rumah itu. Masih tetap menyeramkan, atau setiap hari memang terlihat seperti itu? Aku berdiri, dengan segenap tekad akhirnya memutuskan untuk membeli bola baru.
Dua hari berlalu semejak kejadian bola tersesat itu, dan melenceng dari perkiraan, ternyata aku tidak punya cukup uang untuk membeli bola baru. Teman-temanku tidak mau berteman denganku lagi. Beginilah kelakuan bocah-bocah kelas 5 SD. Padahal aku ingin sekali bermain bersama mereka. Hari ini Marta menginap dirumahku―meskipun kami saudara kami tidak tinggal bersama―karena saudara besar kami berkumpul disini. Hanya beberapa orang namun ramainya melebihi pasar. Aku ditugaskan menjaga adik sepupu laki-lakiku, Fasta. Dia sangat lincah dan menggemaskan, membantu meringankan kesepianku.
“Apa kau masih tidak berani mengambil bolanya? Kau bisa bermain bersama kami dan tidak hanya menjaga bocah tiga tahun itu.” kata Marta padaku yang sedang bermain rumput dilapangan bersama Fasta. Dia memang tidak pernah suka anak-anak, meskipun dirinya juga masih anak-anak.
“Berhentilah memikirkanku, aku baik-baik saja.”
Marta tidak menjawab dan langsung pergi dengan tas ranselnya, ia selalu membawa tas ransel itu kemanapun dia pergi. Banyak barang berharga yang ia simpan disana ujarnya. Mengapa barang berharga harus dibawa kemana-mana? Dia memang aneh. Jujur, sebagai anak laki-laki yang normal tentu saja aku ingin bermain bersama teman-temanku dan tidak hanya berdiri disini sambil menjaga anak kecil. Pikiranku berterbangan, tanganku meremas-remas rumput yang tadinya kumainkan. Bosan? Tentu saja. Kupikir seharusnya aku berani mengambil bolanya, kulirik lagi rumah itu… deg! Jantungku hampir berhenti berdetak saat aku melihatnya, bola mataku serasa ingin keluar saking terkejutnya. Darahku berdesir, keringat dingin membanjiri tubuhku.
“Fastaaaaaa!” teriakku. Bocah tiga tahun itu kini berada di sela-sela pohon sengon, mendekati rumah berdarah yang terlarang.
Kutengok teman-temanku di lapangan―sepi―ternyata mereka sudah pulang. Memangnya berapa lama aku tadi melamun? Oh bisa kalian bayangkan apa yang harus kulakukan kali ini? Berlari kerumah dan melapor pada keluargaku? Ah itu terlalu lama! Entah apa yang mendorongku untuk melakukan ini, tapi sekarang aku sudah berlari mengejar Fasta yang justru semakin lincah bergerak kearah rumah itu. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kurasakan sekarang. Perasaan takut menguasai setiap sel di tubuhku, aku belum pernah sedekat ini dengan Rumah Berdarah.
Fasta berhenti berlari, akupun turut berhenti. Jarakku dengan bocah itu hanya sekitar sepuluh langkah kaki sekarang. Dadaku naik turun mengatur napas yang berantakan, kulihat sekelilingku―diantara pohon sengon dan barongan yang melambai―perasaanku mulai tidak enak. Apalagi rumah itu semakin jelas dalam pengelihatanku, aku bisa melihat gerbangnya yang reyot termakan usia. Ada bebatuan yang disusun desela pekarangannya menuju ke sebuah pintu besar. Kurasa itu pasti pintu masuknya.
“Fasta kemarilah, ayo pulang. Akan kuberikan kau mobil mainan kesukaanku.” Ucapku pada Fasta. Akupun tidak yakin dia mengerti apa yang kukatakan. Akupun juga tidak mengerti apakah aku benar-benar mau melakukan apa yang kukatakan tadi. Tapi setidaknya itulah usahaku untuk membujuknya.
Fasta menoleh dan tersenyum menggemaskan, tapi kemudian dia berpaling dan kembali berlari mendekat kearah rumah itu. Oh sungguh bocah ini benar-benar merepotkan. Aku tak punya cukup nyali untuk terus mendekat, tapi sesuatu dalam diriku mendorongku untuk segera menangkap Fasta dan pulang. Fasta yang kini justru bergelantungan di pagar reyot dengan banyak tumbuhan merambat itu tertawa girang. Mungkin dia pikir ini permainan kejar-kejaran, atau mungkin hantu dirumah itu merasuki Fasta dan berniat memancingku disini untuk membunuhku―karena bola itu mengganggu ketenangannya.
Bug! Fasta jatuh dari pagar reyot itu dan terguling di tanah. Betapa lucunya ia bergelinding seperti trenggiling. Andai keadaan ini bisa ditertawakan. Fasta seperti magnet, aku yang tadinya hanya berada di sela-sela pohon sengon kini ada di pekarangan Rumah Berdarah. Lutut Fasta sedikit berdarah, tapi dia tidak menangis. Akupun menggendongnya, aku hampir lupa dimana aku berada sekarang jika saja aku tidak mendengar bunyi barang jatuh dari atas. Seperti ada benda jatuh dari lantai atas sana, pintu rumah itu juga sedikit terbuka kurasa. Aku mematung di tempatku, sampai pada akhirnya kulihat sekelebat bayangan hitam melintas di jendela lantai atas. Tak ambil pusing, segera kupaksa kakiku berlari dari tempat mengerikan itu.
***
            “Panca, bagaimana bisa kakimu berlumuran darah begini?” Paman Kung yang ada dirumah saat itu khawatir melihat keadaanku. Dia pamanku yang merawat Marta, tapi dia juga sangat sayang padaku.
            “Aku hanya bermain sedikit, Paman.” Ujarku menahan takut. Aku tak mau Paman dan keluargaku yang lain tahu apa yang terjadi padaku.
            “Berhentilah bermain ditempat berbahaya, jika tak mau terkena bahaya.”
            Paman benar, tapi aku disana tidak untuk bermain. Andai saja paman tahu apa yang terjadi. Dalam keluarga kami tak ada yang tahu tentang Rumah Berdarah lebih baik dari Paman Kung. Aku berpikir untuk menceritakan padanya, tapi tak sampai berani aku mengatakannya. Aku terlalu terbayang akan resiko apa yang terjadi jika aku mengatakannya.
            Hari ini malam Jumat, keluarga besarku sudah kembali sejak sore tadi. Seharusnya aku sudah tidur malam ini, tapi aku tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian tadi. Sesuai adat di kampungku setiap orang harus tidur selepas isya’ di malam Jumat. Konon, siapa yang tidak tidur dan masih bangun akan dimakan ular sungai. Rumahku terletak paling barat, sejajar dengan Rumah Berdarah meski jaraknya cukup jauh. Dibelakang rumahku ada sungai besar, disanalah ular pemakan tinggal. Meskipun aku takut, tapi mau bagaimana lagi. Aku ingin menghitung bintang dilangit, itu akan membantuku mengantuk dan tertidur. Kuintip samar-samar lewat jendela kamarku yang menghadap ke utara. Mataku menatap indahnya langit malam, yang selalu kulewatkan.
            Jantungku pasti baik-baik saja jika aku tidak melihat cahaya di barongan. Tapi kini, arah pandangku berubah. Aku yang tadinya melihat langit kini melihat cahaya. Cahaya lampu senter menurutku. Mataku masih sehat, rembulan sedang purnama, aku memiliki cukup pengelihatan malam ini. Sekitar ada enam atau tujuh orang yang berjalan beriringan. Dua orang berjalan didepan membawa senter, empat orang berjalan ditengah sambil menarik entah-apa-itu, dan sisanya menerangi jalan di belakang. Yang membuatku heran apa yang mereka lakukan di malam Jumat seperti ini? Mereka seharusnya tidur dirumah jika tidak mau dimakan ular. Orang kampung pasti tidak bisa melihat ini, karena rumah mereka jauh. Sementara di rumahku yang hanya satu-satunya berdiri di deretan paling barat, aku bisa melihat dengan cukup jelas apa yang terjadi.
            Yang membuatku semakin terheran-heran adalah kemana arah tujuan mereka. Mereka berjalan kearah Rumah Berdarah. Siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka lakukan?
***
            Keesokan harinya, pada jam istirahat aku menceritakan kejadian itu pada teman-temanku di sekolah. Tentu saja mereka tidak percaya akan apa yang kuceritakan. Tapi setelah aku meyakinkan mereka, mereka tampak antusias dan ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.
            “Menurutmu siapa mereka?” tanyaku pada teman-temanku.
            “Perampok!” Saleh memberikan pendapat.
            “Mana mungkin? Apa yang mau mereka rampok di rumah itu? hanya kematian yang mereka cari!” ujar Christie membantah pendapat Saleh.
            “Iya kau benar. Lalu apa yang mereka lakukan?” ujarku. Kepalaku buntu dan aku tidak bisa memikirkan apa-apa.
            “Apa kau yakin mereka kearah rumah itu? mungkin saja mereka hanya melewatinya.” Kata Saleh.
            “Aku tidak mungkin salah. Aku yakin sekali.”
            “Panca, jika mereka mengarah kerumah itu pasti mereka sudah mati. Dan sampai hari ini tidak ada kabar ada orang yang mati. Kau tahu sendiri bagaimana mengerikannya rumah itu.” ujar Christie. Benar juga apa yang dikatakannya.
            “Mungkin saja mereka pemuja setan.” Marta tiba-tiba melintas didepan kami sambil berucap dengan entengnya.
            “Hey apa yang kau lakukan? Kau menguping pembicaraan kami!” gertak Saleh. Dari awal dia tidak suka pada Marta karena sikapnya yang dingin. Ditambah ketika kuceritakan perihal bola itu padanya.
            “Kalau iya memangnya kenapa? Lagipula kali ini jawabanku yang paling benar.” Jawab Marta sambil berlalu pergi.
            Aku, Saleh, dan Christie terdiam. Berpikir.
            “Mungkin dia benar. Kita harus memanggil dukun kalau begini jadinya.” Christie membuka mulut.
            “Benar. bukankah ibumu itu dukun, Saleh?” ucapku.
            “Bodoh sekali kau ini, Panca. Ibuku memang dukun, tapi dukun beranak. Mana bisa mengatasi masalah itu?”
            “Tapi aku tertarik dengan masalah ini.” ucapku.
            Dan akhirnya, malam ini Saleh menginap dirumahku. Dia juga terlihat sangat tertarik akan hal ini sama sepertiku. Entah alasan apa yang ia buat untuk orangtuanya sehingga ia bisa diijinkan menginap dirumahku. Dia pembohong terbaik! Jendela kamar sudah kubuka sejak jam Sembilan malam tadi. Dua cangkir kopi sudah ada disebelah kami sebagai penjaga mata. Seperti biasa, kuawali saat-saat ini dengan menghitung bintang. Entah berapa banyak bintang yang kuhitung, tapi saat-saat itu tak kunjung datang. Tak ada yang melintas di barongan. Kulirik Saleh yang entah sudah berapa kali menguap.
            “Aku sudah tak tahan lagi, Panca. Kau saja yang jaga. Nanti kalau mereka datang bangunkan aku.” Hanya itu kata-kata terakhir yang kudengar. Selepas itu penantian kami tidak berakhir dengan berhasil.
            Saleh tidak mau menginap dirumahku lagi, meski begitu aku tidak putus asa. Setiap malam aku menunggu sendiri dibalik jendela berharap ada yang datang.  Benar saja, penantianku tidak sia-sia! Malam ini, malam Jumat. Semua orang yang ada dirumahku sudah tidur, tapi aku masih setia menanti. Karena aku percaya yang kulihat itu tidak pernah salah. Cahaya senter menyinari sepanjang jalan di sekitar barongan. Saat itu sempat ada cahaya yang mengarah kerumahku, aku sempat takut mereka memergokiku. Refleks, akupun menunduk menyembunyikan diri. Sesaat kemudian aku kembali melihat mereka, aku memberanikan diri melihat lebih lama. Dugaaanku tidak salah! Mereka memang masuk kerumah itu! Mereka masuk ke Rumah Berdarah!
***
            Wajah Christie langsung memucat saat aku menceritakan apa yang terjadi. Saleh menyesal karena ia tidak menginap dirumahku tadi malam. Yang jadi pertanyaanku adalah siapa mereka dan apa tujuan mereka. Menurut Saleh, mereka datang dari jauh untuk memuja setan yang ada di Rumah Berdarah. Hal itu memang wajar saja dilakukan karena seseorang bisa mendapat kekayaan dari pemujaan setan tersebut.
            “Sepertinya pembicaraan kalian menarik.” Sekali lagi Marta datang dengan tiba-tiba menghampiri kami.
            “Hanya perbincangan kecil, lupakan saja.” Christie menanggapi.
            “Kalian tidak berguna.” Ucap Marta dengan nada datar, tetap dingin seperti biasanya.
            “Pergilah bersama tas ransel berhargamu itu!” Saleh akhirnya angkat bicara.
            Marta terdiam, kemudian tersenyum sambil berbalik. Kakinya sudah melangkah pergi ketika akhirnya dia mengatakan “aku sudah banyak bertanya tentang rumah itu pada Paman Kung. Dia lebih membantu daripada teman-temanmu, Panca.”
            Aku masih tidak bisa melupakan kata-kata Marta tadi disekolah. Entahlah aku sulit mengerti apa yang ada di pikirannya. Apakah dia juga tertarik dengan masalah ini? dia sampai berani bertanya pada Paman Kung. Sebuah tindakan yang bagus, karena Paman tahu banyak tentang Rumah Berdarah. Tapi apa yang akan Marta lakukan selanjutnya? Ah sudah lupakan saja. Aku jadi teringat saat dijalan pulang, Paman Kung berpesan sesuatu kepadaku. Paman memintaku untuk berhenti mengawasi rumah itu. Pasti Marta yang memberitahunya.
            Malam ini aku tidur nyenyak, sebentar lagi masalah itu akan terkuak. Saleh dan Christie sudah berjanji untuk membongkar siapa sebenarnya mereka. Malam Jumat minggu depan, kami akan bersama-sama melihat para pemuja setan itu.
            Minggu pagi terasa cerah, matahari menyapaku dengan hangat sinarnya. Aku pergi kelapangan untuk bermain rumput dibawah pohon seperti biasanya. Tidak kuduga, Marta ada disana. Di lapangan, bermain rumput dibawah pohon.
            “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku saat menghampirinya. Dia hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku. Tapi kulihat ada yang berbeda darinya.
            “Mengapa kau melihatku seperti itu?” Tanya Marta. Dia malah balik bertanya dan tidak menjawab pertanyaanku.
            “Itu kamera baru? Paman yang membelikan itu untukmu?” tanyaku. Dia hanya mengangguk, kemudian mengarahkan kameranya padaku. Dia memotretku! Aku seperti orang aneh dibuatnya. Setelah itu yang terdengar hanyalah tawa yang ia bawa lari. Menyebalkan!
            Saleh mengajakku pergi ke kantin selepas upacara, pagi ini matahari terik sekali. Aku juga ingin membeli air mineral dingin disana. Christie menolak ikut, ia langsung ke kelas takut dimarahi guru. Aku berjalan melewati kelas Marta, tapi dia tidak ada dikelasnya. Mungkin ia sedang ke kamar mandi. Namun sepulang sekolah aku juga tidak menemukan Marta dimanapun, biasanya dia selalu muncul didepanku meskipun hanya sekali. Entah kenapa aku khawatir dia jatuh sakit. Kukatakan ketidakberadaan Marta kepada kedua orangtuaku, mereka juga panik dan mencari Marta dirumah Paman Kung.
            “Bukankah ia bersama kalian? Kemarin aku ada pertemuan dengan teman-temanku. Maka aku menyuruhnya menginap dirumah kalian.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Paman Kung.
            Orang tuaku panik. Bagaimana tidak? Marta tidak ada dimanapun. Dia juga tidak menginap dirumah kami kemarin. Terakhir kali aku melihatnya hanya saat di bawah pohon itu. Tentu aku juga ikut panik. Para tetangga juga berdatangan menghampiri kami. Ibu mulai menangis, ayah berbicara dengan Paman. Para tetangga menanyaiku tapi aku tidak bisa memberi penjelasan apapun. Tiba-tiba saja semua terdiam, melihat Paman Kung berlari.
            Paman berlari cepat dan dengan langkah lebar, para tetangga dan ayahku menyusul di belakang. Aku juga menyusul para pelari itu, aku ada dibarisan paling belakang. Langkahku tidak selebar mereka. Paman Kung melintasi lapangan tempat anak-anak biasa bermain, ia menerobos pohon sengon di kanan kirinya, barongan yang melambai juga tidak menghentikan langkahnya. Paman Kung berlari menuju Rumah Berdarah. Para tetangga berhenti di antara pohon sengon. Tidak berani terlalu dekat dengan rumah berdarah. Aku menerobos masuk, melewati gerbang reyot yang pernah kulihat sebelumnya. Ayah hanya bisa berteriak saat aku berlari masuk menyusul Paman.
            Aku tahu rumah itu luas, aku tahu rumah itu sangat besar. Aku tidak melihat apa-apa lagi. Yang kulihat hanya satu, Paman berlutut dihadapan saudara kembarku yang tergeletak tak berdaya. Aku melihatnya, kakak perempuanku. Perasaanku tidak bisa dijelaskan, akupun tak berani mendekat. Paman menggendongnya. Aku masih tak bergerak, mataku memandang sekeliling dan mengambil benda berharga milik Marta. Kutemukan hal yang aneh pada tas ransel Marta, bagian atas dan bawahnya diikat dengan tali. Kurasa itu tali dari pakaiannya. Mataku kembali menerawang sekeliling, tidak ada apa-apa. Rumah ini kosong. Hanya ada satu kotak lemari kecil yang terbuka. Rumah ini juga berbau aneh, bau seperti cat.
            “Panca cepat keluar dari sana!” entah siapa yang meneriakkan itu, kurasa salah satu tetanggaku. Karena ayah dan pamanku sudah berjalan dahulu sambil membawa Marta.
***
            Aku tidak percaya Marta akan berakhir di Rumah Berdarah. Ternyata hari itu adalah saat terakhirku melihatnya, saat dia tertawa setelah memotretku. Aku tidak pernah melihat dia tertawa selepas itu, aku berharap bisa melihat tawa itu sekali lagi dan seterusnya. Entah mengapa aku merasa marah. Tidak tahu harus marah pada siapa.
            “Menurut kalian apa yang dilakukan Marta dirumah itu?” tanyaku pada Saleh dan Christie.
            “Menurutku tentu saja dia ingin tahu tentang para pemuja setan itu.” jawab Saleh.
            “Dia pasti kesana di malam hari, dia juga terbunuh dimalam hari.” Ucap Christie, memang benar yang ia katakan. Aku juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.
            “Kurasa dia bukan dibunuh oleh hantu, tapi manusia.” Ujarku.
            “Maksudmu para pemuja setan itu? bukankah mereka kesana hanya pada malam Jumat saja?” Tanya Saleh.
            “Kau benar. Aku juga belum tahu pasti siapa pembunuhnya, tapi perasaanku mengatakan bukan hantu yang melakukannya. Aku juga mulai tidak percaya dengan rumor Rumah Berdarah itu.” jawabku.
            Christie melotot, tapi kemudian tersenyum. “kau benar. jika rumor itu memang benar pasti kau dan pamanmu sudah mati sekarang. Karena kalian berdua juga masuk ke Rumah Berdarah.” Ucapnya.
            “Ah aku mengerti!” kata Saleh, “lagipula menurut rumor yang ada, siapapun yang mati disana darahnya akan berceceran. Tapi Marta mati tanpa mengeluarkan darah.” Lanjutnya.
            Aku seperti menelan pil pahit, cerita turun-temurun yang sudah kami percaya dan mengakar dalam diri kami ternyata hanya bualan belaka. Meskipun aku masih belum tahu pasti, tapi dari sini aku bisa menyimpulkannya.
            “Apa tidak ada lagi yang kau temukan disana?” Tanya Saleh. Aku menceritakan tentang tas ransel Marta dan lemari kecil itu. Karena hanya itu yang kulihat.
            “Astaga! Aku megerti!” suara Christie mengagetkan kami semua. “dia mati terperangkap didalam lemari itu!”
            Aku tidak mengerti apa yang Christie katakan, bukankah dia tahu kalau Marta meninggal tergeletak di lantai, bukan didalam lemari. Aku dan Saleh saling pandang tidak mengerti. Christie sekali lagi tersenyum, aku tahu dia pasti mengerti keadaan kami, maka dari itu ia menjelaskan pendapatnya.
            “Tas itu adalah simbol, jika bagian atas dan bawahnya diikat dengan tali maka itu berarti ada yang terjebak. Terjebak seperti tikus.”
            Aku dan Saleh sama-sama terkejut.
            “Terjebak seperti seekor tikus?” Tanya Saleh.
            Christie menangguk. “itu ada dalam peristiwa sejarah, apa kalian tahu tentang Pertempuran Anegawa?” kata Christie, kami hanya tersenyum getir tanda tidak mengerti apa-apa. “ada peristiwa yang terjadi sebelum itu, pengepungan Kanegasaki. Ini terjadi di Jepang.” Tentu saja aku dan Saleh menjadi semakin bingung. Sejarah Jepang? Aku tak menyangka Christie punya pengetahuan seluas itu.
            “Bisakah kau langsung pada inti penjelasannya?” Saleh mulai tak sabar.
            “Baiklah, intinya dalam peristiwa itu terjadi sebuah pengkhianatan. Adik perempuan Nobunaga―tokoh dalam peristiwa itu―mengirimkan sebuah tas yang diikat bagian atas dan bawahnya. Kakaknya tahu bahwa itu berarti terjebak.”
            “Aku mulai mengerti sekarang. Maksudmu Marta terjebak dalam lemari kecil itu?”
            “Tentu saja, Panca. Dia pasti kehabisan oksigen didalam sana.”
            “Tapi bagaimana kau tahu kalau tas itu benar-benar simbol?” ujar Saleh. “maksudku, mungkin kau memang mengerti tentang simbol terjebak itu dalam peristiwa sejarah. Akan tetapi Marta belum tentu memiliki maksud yang sama. Aku meragukannya.” Lanjutnya.
            “Saleh benar, aku juga tidak pernah melihat Marta tahu banyak tentang sejarah. Lagipula, bagaimana ia bisa terbaring dilantai jika awalnya ia ada didalam lemari?” tukasku.
            “Aku bisa seyakin ini karena aku dan Marta pernah menonton film bersama. Kisah tentang pengepungan Kanegasaki. Aku yakin bahwa Marta tahu apa yang dilakukannya pada tas itu.” Jawab Christie.
            “Aku terkejut mengetahui kau dan Marta pernah menonton film bersama. Kalau begitu, berarti Marta tahu tentang tas itu.” ujar Saleh. “tapi ada satu yang lebih mengejutkan.” Lanjutnya.
            “Iya, ada satu lagi yang mengejutkan. Hal itu berarti Marta ingin Christie yang mengetahuinya.” Ucapku.
            “Bukan aku, tapi kita. Marta ingin kita mengetahuinya.”
            Benar. Marta ingin kami tahu tentang rumah itu, tentang apa yang ada didalamnya. Marta ingin kami mengetahui bahwa ia terjebak. Ada yang menjebaknya dalam lemari itu. Pertanyaannya, siapa dan bagaimana. Siapa yang melakukan itu? Bagaimana Marta bisa terjebak disana dan akhirnya tergeletak dilantai? Perdebatan panjang dan diskusi keras sudah terjadi diantara kami. Hipotesisnya, ada satu yang menjadi tersangka. Paman Kung.
            Paman Kung tidak ada di minggu malam itu. Kemungkinan ia pergi kesana, kerumah itu. Ia bisa dengan mudah beralasan bertemu teman-temannya. Paman Kung yang pertama kali berlari kearah Rumah Berdarah, itu berarti ia sudah tahu bahwa Marta ada didalam sana. Bisa saja Paman Kung dengan cepat mengeluarkan Marta dari lemari dan menggeletakkannya di lantai. Paman yang sampai lebih dulu di dalam rumah itu. Bukankah lemarinya sedikit terbuka?
***
            Cuaca sedikit berangin. Gemerlap bintang dilangit memberiku semangat, cantiknya menyentuh relung dadaku untuk mengirim perintah pada otak agar aku tersenyum. Malam ini akan kami ungkap semuanya. Akan kami punahkan para pemuja setan itu. Saleh dan Christie sudah menunggu disamping kandang ayam rumahku. Mereka sudah minta ijin menginap, namun tentu saja orang tuaku tidak memperbolehkan aku membawa seorang gadis kedalam rumah. Akhirnya, dengan baik hati Saleh menemani Christie disamping kandang ayam. Semenjak kebohongan Rumah berdarah, mereka kini tidak takut pada ular sungai. Mereka menganggaap cerita ular sungai yang akan memakan orang itu hanya mitos untuk menakuti para warga, agar mereka tidak terjaga di malam Jumat. Sehingga para pemuja setan itu bisa dengan liarnya bertingkah di Rumah Berdarah tanpa diketahui warga.
            Ayah mendengkur sangat keras dalam tidurnya, aku berharap ia sudah pergi jauh kealam mimpi sekarang. Aku belum pernah kabur dari rumah selama ini, hanya mengintip lewat jendela saja yang biasa kulakukan. Sekarang aku diharuskan untuk berjingkat-jingkat agar bisa keluar dari rumah tanpa diketahui siapapun. Aku berjalan sambil melihat kebawah, takut menginjak sesuatu. Kamar orangtuaku sudah berhasil kulewati. Hanya tinggal berjalan 10 langkah kedepan, belok kanan melewati dapur dan sampai di pintu belakang rumah menemui teman-temanku yang sudah menunggu.
            “Panca, kau lama sekali! Kita kan sudah berjanji berangkat lebih awal sebelum para pemuja itu datang mendahului!” Saleh selalu tidak sabar. Harusnya ia tahu kesulitan apa yang kuhadapi didalam. Bagaimana aku bisa keluar kalau ibu sedang didapur tadi. Beruntung aku bisa sampai disini dengan selamat.
            “Apa kau sudah siap?” Tanya Christie. Aku mengangguk mantap.
            Kami lewat pinggiran sungai yang ada di sisi barat dan terus berjalan keutara. Kami tidak mungkin melewati perkampungan, takut para warga akan tahu. Meskipun awalnya takut, tapi kami yakin bahwa ular itu tidak ada. Saleh berjalan didepan dengan percaya diri, ia berkata bahwa ia telah diberi jimat oleh ibunya―yang bisa menjaganya tetap aman. Disini sangat gelap, tapi kami tidak menggunakan senter. Christie berkata bahwa itu malah takutnya mencurigakan. Kami hanya mengandalkan pengelihatan kami yang sempurna, anugerah Tuhan.
            “Apa kalian mendengar sesuatu?” kata Christie.
            Kami membuka telinga, Saleh memandangku dengan khawatir, suara desisan. Tentu saja pikiran kami sama pada saat itu : desisan ular. Aku mengamati sekeliling, air sungai berkecipak pelan. Mungkin hanya ikan, pikirku. Kami mencoba berpikir positif dan terus berjalan, makin lama langkah kaki kami makin lebar, air sungai berkecipak sekali lagi, tanpa pikir panjang kami langsung berlari. Kami tidak ingin berakhir disungai tanpa mengetahui apa yang terjadi di Rumah Berdarah. Barongan menjulang dan menyanyikan lagu angin, menyampaikan pesan agar kami berhati-hati. Aku berharap suatu saat bisa bermain dengan teman-teman diantara barongan ini.
            Saleh berdiri menggenggam jimatnya, aku tahu tangannya gemetar kala itu. Christie menunduk terus daritadi, aku takut terjadi sesuatu padanya. Mungkin dia belum terbiasa, tidak sepertiku yang kini sudah tiga kali kerumah ini. Aku yang paling tenang diantara mereka. Kami didepan Rumah Berdarah. Rumah itu berlantai dua, pintunya sangat besar. Banyak tumbuhan merambat hidup subur di sela-sela jendelanya. Saleh yang tadinya berjalan didepan, kini menyerahkan posisinya padaku. Aku memantapkan hati dan berjalan melewati gerbang reyot.
            “Panca!” Saleh memanggilku, kutengok ternyata Christie muntah-muntah. Wajahnya sangat pucat, aku jadi merasa bersalah karena melibatkannya dalam semua ini.
            “Aku tidak apa-apa, aku memang muntah jika ketakutan. Aku baik-baik saja.” Sebelum aku bertanya, Christie sudah menjelaskan keadaannya. Sungguh malang sekali nasibnya. Tapi kuakui dia hebat, kalau aku sepertinya pasti sudah muntah sejak di sungai tadi.
            “Apa kau yakin tidak apa-apa? Kau mau menunggu disini saja?” ucapku.
            “Ah tidak. Aku ingin ikut bersama kalian, Marta juga pasti ingin kita bersama.”
            Perjalanan kami lanjutkan, sesekali tikus lewat didepan kami. Mungkin para tikus juga ingin memberi semangat, aku tak akan melupakan mereka. Dugg! Seperti suara barang jatuh, kami terlonjak kaget. Suaranya dari belakang rumah ini, kupikir itu tikus. Kami saling menyemangati lewat sorot mata, kami banyak terdiam setelah mendekat di rumah ini. Aku memandang pintu besar didepanku, agak terbuka sedikit di sisi kirinya, tidak terkunci. Sekilas kualihkan pandanganku keatas, sekelebat bayangan hitam melintas dari atas sana. Mungkin hanya tumbuhan merambat yang menyapa karena tertiup angin.
            Aku masuk kedalam rumah itu dan menunjuk kelantai, teman-temanku melihat kemana arah jari telunjukku. Mereka mengerti bahwa disana tempat Marta tergeletak tak berdaya. Saleh masih dengan jimat ditangannya, entah dia bergumam apa aku tak mengerti.
            “Kita akan kemana?” Tanyaku.
            “Mau naik tangga itu?” ujar Christie.
            Aku tidak yakin, tapi dilantai dasar hanya ada ruangan kosong. Tidak ada petunjuk apapun. Akhirnya kamipun menaiki tangga perlahan. Perasaan takut mulai menguasaiku, aku tahu ini tidak nyaman karena sedari tadi aku yang paling tenang dan meyakinkan teman-temanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tangga ini spiral, ujungnya kelantai atas. Aku takut ketinggian dan tak berani menoleh kebawah.
            “Ada ruangan.” Bisik Saleh
            Aku melihat ruangan itu, pintunya masih lebih bagus dan tidak reyot seperti pintu lain yang ada dirumah ini. Pintu itu tertutup. Aku yang pertama berada didepan pintu itu, tapi tidak ada gagang pintunya. Aku mencoba mendorong pintu itu, Saleh turut membantu tapi tidak ada hasil. Pintu itu tetap rapat. Christie maju dan menggeser pintunya, terbuka. Astaga otakku tidak bisa berpikir logis kalau sedang ketakutan begini.
            “Kau sangat membantu.” Ucapku pada Christie. Sebenarnya ucapan itu lebih mengarah kepada kau tidak berguna untuk diriku sendiri.
            Christie menunduk terus sedari tadi, aku takut dia muntah disini. Langkahnya tiba-tiba berhenti, dia tetap menunduk. Aku ikut melihat arah pandangnya. Kami tidak berbicara apapun tapi saling mengerti satu sama lain. Ada botol dikaki Christie. Aku memungutnya, baunya tercium seperti cat. Sangat menyengat. Botolnya dari beling dan agak berat, Saleh dan Christie juga turut memetiksa botol itu bergantian.
            “Botol minuman keras?” tanyaku
            “Sepertinya begitu, baunya menyengat sekali.” Jawab Saleh.
            “Apa para pemuja setan itu mengkonsumsi minuman keras?” ucap Christie.
            “Sepertinya begitu, seperti yang kita lihat ini. Ada beberapa botol sejenis yang berserakan.” Ujarku.
            “Tapi kalau mereka benar-benar memuja setan, apa mereka tidak punya sesajian untuk itu?” Tanya Christie.
            “Aku rasa mereka membawa sesajian.” Ujarku sambil mengingat benda entah-apa-itu yang ditarik oleh empat orang dirombongan para pemuja setan. “ada benda yang mereka bawa, cukup besar. Tapi aku tidak bisa melihat dengan pasti apa itu.” lanjutku.
            “Lalu dimana mereka meletakkan sesajian itu?” Tanya Saleh.
            “Mungkin sesajian nya sudah habis dimakan hantu.”
            Tak kusangka jawabanku itu membuat Christie muntah lagi. Ternyata dia benar-benar takut. Apakah Christie membayangkan hantu memakan sesajian? Entahlah aku tidak bisa membaca pikirannya. Tangan Christie sangat dingin, aku takut dia pingsan disini. Itu pasti sangat merepotkan mengingat kami berada dilantai atas sekarang.
            Lagi-lagi terdengar suara benda jatuh, namun kali ini terdengar sangat keras. Pantas saja, karena kami berada didalam rumah sekarang. Apa kalian bisa membayangkan ada sesuatu tiba-tiba bergerak disekitar tengkuk kalian? Merambat dibelakang dan seperti menyentuh halus dibawah leher. Itu yang kurasakan sekarang. Aku seperti merasa ada yang mengawasi kami. Otakku memproses sebuah gambar yang mengerikan, aku mencoba menghilangkan gambar-gambar aneh itu dari pikiranku. Aku tak mau terlihat gelisah didepan teman-temanku.
            “Ayo kita berjalan kearah sana.” Bisikku sambil menunjuk bagian kiri dari ruangan itu. Mereka mengikutiku, Christie terlihat cukup baik meskipun wajahnya memutih. Langkah kami mendadak terhenti, pandanganku seperti mulai bias. Pertahananku hampir goyah. Saleh langsung melangkah mundur. Dan Christie, muntah.
            Benda itu panjang, kira-kira 148cm. Benda itu ditumpuk-tumpuk, dan cukup banyak. Ada enam baris, setiap baris terdiri dari delapan tumpuk benda. Benda itu memiliki ukuran seperti tubuh manusia. Bagain luarnya ditutupi kain putih, kain putih bersih yang diikat bagian atas, tengah, dan bawahnya. Aku tidak berani menyebutkan apa isi dibalik kain putih itu, aku berharap isinya hanya pelepah pisang atau guling kapuk. Tapi…
            “Mayat!” pekik Saleh.
            Tentu saja kami tahu. Tentu saja itu yang kami pikirkan pertama kali saat melihatnya. Tentu saja itu yang membuat langkah kami terhenti. Aku tidak pernah berpikir akan berada pada situasi sesulit ini. Apakah kalian bisa membayangkan rasanya berada diantara empat puluh delapan mayat?
            Kreek.. suara pintu yang digeser itu memusnahkan kepatungan kami. Kami saling pandang, bingung. Tentu saja itu berarti ada yang masuk. Tanpa pikir panjang aku berlari diantara tumpukan mayat itu, dan berhenti pada salah satu sisi ruangan yang gelap, agak tersembunyi. Tertutup tumpukan mayat baris kelima. Setidaknya disanalah kami bersembunyi. Tidak pernah terpikirkan olehku akan menghabiskan malam diantara tumpukan mayat, beruntung mayat-mayat ini tidak berbau busuk.
            Aku melihat sosok itu masuk. Dia memakai pakaian serba hitam, aku tak bisa melihat wajahnya. Dia memakai semacam masker, yang juga berwarna hitam. Rambutnya yang panjang tergerai turun menutupi sela-sela matanya. Sosok itu tiba-tiba berhenti dan melihat kebawah, bekas muntahan Christie. Dia berjongkok dan memeriksa bekas muntah itu, diraba dengan tangan kirinya, dan ia mendekatkan tangannya ke hidung. Menjijikkan, baunya pasti aneh, terlihat dari ekspresi sosok itu yang tiba-tiba mengibaskan tangan kirinya. Yang kutahu ternyata tangan kanannya memegang sesuatu. Seperti sebuah golok, yang sangat tajam. Pasti dengan mudah memenggal kepala kami dengan satu sayatan tajam.
            “Tenang, aku punya jimat, kita akan aman!” bisik Saleh. Dia begitu percaya diri meskipun kutahu kakinya gemetaran.
            Sebelum aku bisa mengucapkan terimakasih atas usahanya menenangkanku, dia tiba-tiba keluar dari tempat persembunyian dan mengacungkan jimatnya didepan sosok itu! “kemarilah, aku punya jimat! Kau akan musnah! Aku tidak takut!” teriak Saleh. Mungkin aku sedikit yakin jimat itu akan berhasil digunakan pada makhluk halus. Tapi tidakkah Saleh bisa sedikit berpikir bahwa sosok yang ada didepannya ini menginjak tanah?
            Tepat, sosok itu pasti terkejut bercampur heran melihat Saleh berdiri didepannya. Saleh juga pasti terkejut bercampur heran melihat sosok yang ada didepannya tidak musnah. Sosok itu berjalan satu langkah mendekat, pertahanan Saleh mulai goyah. Golok itu berkilau terkena sinar rembulan. Aku sudah beranjak dan ingin pergi kesana kalau saja Saleh tidak berlari pergi entah kemana. Sosok itu sudah jelas, mengejar Saleh.
            “Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Apa yang akan terjadi pada Saleh?” kataku khawatir. Christie diam saja, ia memainkan tangannya. Aku tahu dia pasti sedang melawan rasa takutnya kala itu.
            Christie bangkit, ia mencoba berdiri meskipun kakinya gemetar. Ia berjalan sedikit kedepan. Tapi kemudian dia gagal, Christie muntah. Lebih parahnya lagi Christie mengeluarkan isi perutnya―yang hanya tersisa air saja―kearah tumpukan mayat. Christie langsung mundur karena terkejut. Aku kasihan, ia menghabiskan seluruh isi perutnya disini.
Christie seperti ingin muntah lagi, tapi kutiup wajahnya dengan keras sehingga ia tak jadi muntah. Aku tak tahu ternyata ini berhasil, biasanya orangtua akan melakukan hal itu pada bayinya yang ingin muntah, jadi kutiru saja. Christie mengambil napas panjang, kemudian ia melihat bekas muntahannya di mayat itu tadi. Ada yang aneh.
            Kain putih itu menyusut sedikit, berubah bentuk dari bentuk awalnya. Seharusnya kain itu hanya basah dan tidak menyusut sedikit jika yang ada didalamnya padat. Aku dan Christie saling pandang, pasti yang ada di pikiran kami sama. Karena aku tahu bahwa Christie tidak memungkinkan untuk memeriksa apa yang ada didalam kain putih itu, maka akulah yang memeriksanya. Aku berharap tidak bertemu dengan mata yang tiba-tiba melotot saat aku membuka kain itu. Aku bersyukur, karena akhirnya yang kutemukan disana bukan mayat. Iya, bukan mayat. Christie memegang benda itu. Satu helai kuambil dari dalam kain. Mengejutkan ketika yang ada didalamnya hanyalah daun.
            “Daun apa ini, Panca?” Tanya Christie padaku, kupikir seharusnya aku yang bertanya.
            “Entahlah aku tak tahu. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Lagipula apa gunanya dau-daun sebanyak ini?” jawabku.
            “Entahlah, dijual mungkin.” Jawab Christie. “kurasa kelompok itu bukan kelompok pemuja setan.” Lanjutnya.
            “Mungkin saja. Lalu untuk apa harus diletakkan disini tumpukan daun ini? daun jenis apa ini?”
            “Tembakau.” Kata Christie.
            “Tembakau memang daun yang banyak dijual untuk rokok, tapi kurasa bukan tembakau.” Ujarku setelah mencium bau daun itu. “daun ini disembunyikan, itu berarti daun ini illegal. Hanya satu jenis daun yang pantas menduduki posisi ini. Daun ganja!”
            Mata Christie berbinar, seperti telah menemukan harta karun. Wajahnya yang pucat kini telah berubah normal. “sudah kuduga sebelumnya bahwa kelompok itu bukan para pemuja setan! Sedari tadi aku melihat sekeliling rumah ini tapi tak menemukan adanya tanda-tanda para pemuja setan. Justru yang kutemukan malah botol minuman keras!” Ia seperti terserang penyakit semangat, matanya menyisir seluruh ruangan ini, mencoba mencari petunjuk lain. Berhasil, ia menemukan secarik kertas. Ada isinya, namun ditulis dengan pensil yang tipis sehingga mataku sulit melihat isinya. Apalagi kami berada di dalam ruangan yang gelap. Aku akhirnya meludahi kertas itu, sehingga tulisannnya sedikit muncul. Ternyata hanya pesan singkat.
            Barang dikirim jangan yang terlalu basah. Angkut di Kapuas II.
     Setahuku, Kapuas II adalah nama sebuah kapal angkut barang yang sering lewat di sungai kampung kami. Kini aku tahu, rumah ini dijadikan tempat penyimpanan ganja. Pasti barang yang orang-orang itu bawa adalah ganja, mereka petani ganja. Daun-daun ini dikirim lewat jalur air. Rumah ini memang strategis dijadikan tempat penyimpanan.
            “Ayo kita segera menyelamatkan Saleh dan menghubungi polisi.” Kataku.
            Kami berjalan keluar dari ruangan ini dan menuruni tangga, sesekali aku menoleh takut ada seseorang tiba-tiba muncul dibelakangku. Sesampainya di tangga, aku turun dengan langkah yang sangat pelan. Sungguh aku benci ini, aku sangat takut ketinggian. Kira-kira kurang tiga anak tangga lagi terlewati, Christie tiba-tiba menarik tanganku. Ia menyeretku ke sisi lain di lantai dasar. Ternyata ada orang datang, para petani ganja itu! aku melihat pintu di bagian belakang rumah ini dan menunjukkannya pada Christie. Kami segera berlari kearah pintu itu.
            Buruk, pintunya tertutup. Aku menariknya dan berhasil terbuka sedikit. Sialnya, bunyi pintu itu membuat para petani ganja tahu. Mereka langsung mengejar kami. Aku dan Christie lari terbirit-birit. Dibagian belakang rumah ini banyak sekali semak belukar, entah berapa kali kakiku termakan duri tajam. Disaat seperti ini aku tak tahu dimana Saleh berada, lebih baik aku memikirkan keselamatan diriku dahulu. Aku menengok kebelakang, Christie tidak ada. Yang ada hanya petani ganja yang mengamuk mengejarku. Rupanya aku dan Christie lari kearah yang berlawanan saat keluar dari rumah itu tadi. Aku hampir kehilangan tenaga, rasanya lelah sekali. Seekor tikus melintas didepanku dan masuk kesebuah lompongan―semacam terowongan kecil―disamping rumah. Akhirnya kudapatkan harapan, aku berlari kesamping dan berjalan miring memasuki lompongan itu. Terimakasih, tikus.
            Aku merasa sedikit beruntung kali ini, aku selamat. Aku kini bisa mengatur napasku dengan baik. Tapi aku tidak yakin bagaimana keadaan teman-temanku yang lain. Bagaimana dengan Saleh? Apalagi Christie. Aku berharap ia tidak muntah lagi. Baru saja aku bisa bernapas, tiba-tiba ada suara jejak kaki yang menuju kearahku. Jantungku berdegup cepat, keringat dingin lagi-lagi melewati pelipisku. Aku melihat Paman Kung melintas, refleks aku menyamping sedikit. Tapi sial, kakiku menginjak ranting. Paman Kung tentu saja tahu dimana keberadaanku, ia langsung menyeret tanganku keluar dari lompongan.
            “Tenanglah, Panca.” Kata Paman Kung. Apa dia gila? Bagaimana aku bisa tenang kalau tahu sebentar lagi nasibku akan berakhir sama seperti Marta.
            Aku berontak mencoba melepaskan diri, tapi kemudian aku mendengar suara itu. Suara sirine polisi. Sirine polisi? Ada polisi disini? Siapa yang memanggil? Belum sempat aku mengerti tiba-tiba ada yang keluar dari dalam air sungai, Christie. Dia menyelam? Ternyata ia bersembunyi di sungai tadi. Pantas aku tak melihatnya.
            “Aku yang memanggil polisi, sesuai permintaan Marta. Marta menuliskannya dalam sebuah kertas yang kutemui di saku bajunya. Tepat sesuai hari dan jam nya.” Ujar Paman.
            Marta meminta untuk dipanggilkan polisi pada hari ini? berarti  dia sudah tahu semuanya sebelum meninggal dan masih sempat menulisnya. Aku melihat para petani ganja itu diborgol, mereka ditarik paksa masuk kedalam mobil polisi. Tumpukan daun ganja yang disimpan dalam kain putih yang mirip mayat itu juga disita polisi. Semua warga berkumpul ingin melihat apa yang terjadi disini. Aku melihat Saleh ada di ujung selatan rumah ini. Ia menengok kearah kampung.
            “Kau selamat? Syukurlah. Apa yang terjadi?” tanyaku sambil menghampirinya.
            “Setan itu bapakku. Yang bawa golok. Dia tak mungkin membunuhku.” Jawabnya. Aku terkejut mendengar jawaban Saleh. “Aku tahu saat melihat penampilannya, maka itu aku berani berhadapan dengannya. Dia lari sejak tadi. Beruntung tidak ditangkap polisi. Dia yang menjaga rumah ini.” Saleh melanjutkan, aku tahu ini sangat pahit baginya.
            “Maafkan aku.”
            “Kau tak perlu minta maaf, Panca. Kalaupun bapak tertangkap itu sudah salahnya, kukira dia bekerja sebagai apa selama ini. ternyata kerja seperti ini.” ujar Saleh lirih.
            “Hai kalian, siapa yang memanggil polisi?” Christie datang dengan memakai kaos polisi yang kedodoran. Aku kasihan dia sudah muntah, malah basah-basahan di air. Meskipun akhirnya kutahu ia hanya berniat sembunyi di sisi sungai tapi akhirnya terpleset .Masuk angin parah pasti gadis itu.
            “Paman Kung. Ternyata bukan dia yang membunuh Marta. Kupikir Marta mati terjebak karena bersembunyi dari penjaga rumah itu, dia kehabisan oksigen dan mencoba mendobrak lemari kecil itu. Tapi berakhir dengan kematiannya yang tergeletak dilantai.”
***
            Mentari menyapa lewat terik kilaunya, membuat mataku terpejam karena silau. Beberapa hari ini warga kampung mewawancaraiku, aku seperti seorang artis dibicarakan disana-sini. Begitupula dengan Christie dan Saleh. Orangtuaku memarahiku atas apa yang kulakukan, itu sudah pasti. Mereka tidak bangga padaku ternyata. Paman Kung bisa tahu bahwa Marta meninggal di rumah itu, karena akhir-akhir ini Marta selalu menanyakan tentang bahaya yang ada dirumah itu pada Paman. Tentu saja Paman tahu banyak tentang Rumah Berdarah, karena paman pengrajin bambu. Dan bambu itu ia dapat dari barongan. Seharusnya aku bisa berpikir tentang hal itu dari awal. Aku masuk kedalam kamarku, melihat sebuah tas bertali diatas kasur kapukku.
            Sebuah buku catatan. Aku membuka dan menemukan sesuatu yang menarik. Pada halaman ke duapuluh ada gambar dari pensil, sebuah gambar rumput yang layu. Rumput didepan rumah itu banyak bekas injakan kaki, ada orang yang pernah kesini baru-baru ini. Pada halaman ke duapuluh tiga ada gambar sebuah bola, yang tergenang di air. Bolanya terkena air, padahal tidak hujan. Ada orang yang mencipratinya. Aku tidak menyangka bahwa Marta berani datang kerumah itu, ia menggambarkan apa yang ia temukan disana. Dalam catatannya, ia berasumsi bahwa rumah itu tidak berhantu. Pada halaman terakhir, tidak ada gambar yang kutemukan. Hanya sebuah tulisan.
Panca membuktikan bahwa memang ada manusia yang kesana. Aku semakin yakin bahwa tidak ada hantu. Aku akan kerumah itu, mengambil bola. Agar Panca bisa bermain lagi.
            Apa? Jadi Marta kesana untuk mengambil bola itu? Jadi selama ini dia memikirkanku. Dia adalah kakak yang baik. Hatiku tersentuh melihat catatannya, aku menutup catatan itu. Dari isi tasnya, aku tahu bahwa Marta terobsesi menjadi detektif. Tas yang berharga. Sesuatu terjatuh dari sela-sela buku catatannya, sebuah foto. Fotoku dengan ekspresi kebingungan yang sulit dejelaskan. Bibirku terbuka seperti orang bodoh. Aku pun membalik foto itu.
            Namanya Panca, aku ingin menjadi seperti dia.
            Air mataku menetes.
            Aku melewati pagar reyot yang dipenuhi tumbuhan merambat, kulihat sekeliling dan teringat akan peristiwa akhir-akhir ini. Peristiwa kejar-kejaran yang melelahkan. Beruntung disekitar sini mulai ramai, banyak para pengrajin yang mencari bambu disekitar rumah ini. Aku mencari benda yang seharusnya bisa kuambil sejak lama, bola yang tersesat. Seperti yang digambarkan Marta, bola itu kotor, terdapat bekas lumpur dipermukaannya. Mungkin karena genangan air itu sudah kering. Kuambil bola itu dengan hati gemetar, andai aku melakukannya sejak dulu. Pasti Marta tidak akan berakhir seperti ini.
            Teman-temanku ada di lapangan, Bara juga disana. Mereka semua berhenti bermain saat melihat aku datang membawa bola dan menghampiri mereka.
            “Apakah sekarang aku boleh ikut bermain?”

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRAKTIKUM KESETIMBANGAN BENDA TEGAR

MAKALAH ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA