Bloody House (Cerita Misteri)
disini ada yang suka baca-baca cerita misteri nggak? kalo ada nih ada cerita misteri aku buat. baru dua kali coba bikin cerita yang genre nya misteri sih, dan pastinya harus banyak belajar juga. Tapi.. semoga kalian suka ^^
Bloody house
Bola itu sudah terlempar jauh kearah pekarangan saat aku
hendak menangkapnya. Bola yang seharusnya kutangkap kini ada di pekarangan.
Kuulangi, bola itu ada di sebuah pekarangan. Pekarangan rumah. Disini bukan
pekarangan yang jadi masalah, tapi rumahnya. Rumah itu tak berpenghuni, tidak
ada satu orangpun yang punya nyali untuk memasuki rumah itu. Bahkan untuk
mendekat saja sudah tidak ada yang berani. Konon menurut cerita turun-temurun
dari para orang tua, siapapun yang masuk kerumah itu maka tak akan selamat
lagi. Nyawanya akan melayang dan darahnya akan berceceran dimana-mana. Maka
dari itu, rumah itu dikenal sebagai Rumah Berdarah.
Aku
akan menceritakannya pada kalian. Rumah itu berada di ujung paling utara
kampung kami, rumah tua yang sudah lapuk itu sangat besar, menghadap kearah
datangnya matahari. Pekarangan rumah itu cukup luas, dan rumah itu dikelilingi
banyak pohon bambu yang menjulang tinggi serta sangat rimbun, yang membuat
rumah itu tetap gelap meskipun di siang hari. Orang kampung kami biasa menyebut
pepohonan bambu itu dengan istilah barongan. Di kanan kiri sepanjang
jalan menuju rumah itu juga ada barongan, sehingga orang kampung jarang
bisa melihat rumah itu dengan jelas. Namun, disebelah selatan rumah itu tidak
banyak barongan, hanya pohon sengon yang masih kecil. Agak jauh dari
sana ada sebuah lapangan luas, tempat anak-anak kampung bermain. Sehingga
anak-anak yang biasa bermain di lapangan bisa melihat betapa mengerikan rumah
itu.
“Panca!
Ambillah bola itu! kau yang seharusnya menangkap bola!” teriak salah seorang
temanku, Bara.
“Bagaimana
mungkin? Bolanya masuk kedalam rumah itu! Kita mana boleh masuk kesana!”
jawabku.
“Kita
memang tidak masuk kesana, tapi kau yang masuk!” ujar Marta, saudara kembarku.
Aku tak percaya dia bisa mengatakan itu dan menyuruhku masuk kesana.
Aku
hanya diam tak menanggapi, aku tak punya kata-kata untuk melawan teman-temanku.
Bara yang menendang bola hingga masuk kerumah itu, dan meskipun aku yang
seharusnya menangkap bola, menurutku Bara yang bertanggung jawab dan mengambil
bolanya. Tapi aku tidak punya keberanian untuk membantah.
“Kau
merusak permainan ini, aku tak mau berteman denganmu!” ujar Bara. Satu per satu
temanku yang ada disana pergi meninggalkanku. Hanya aku yang tersisa dilapangan
luas ini. aku memilih duduk dibawah pohon dan bermain rumput, sesekali kutengok
rumah itu. Masih tetap menyeramkan, atau setiap hari memang terlihat seperti
itu? Aku berdiri, dengan segenap tekad akhirnya memutuskan untuk membeli bola
baru.
Dua
hari berlalu semejak kejadian bola tersesat itu, dan melenceng dari perkiraan,
ternyata aku tidak punya cukup uang untuk membeli bola baru. Teman-temanku
tidak mau berteman denganku lagi. Beginilah kelakuan bocah-bocah kelas 5 SD.
Padahal aku ingin sekali bermain bersama mereka. Hari ini Marta menginap
dirumahku―meskipun kami saudara kami tidak tinggal bersama―karena saudara besar
kami berkumpul disini. Hanya beberapa orang namun ramainya melebihi pasar. Aku
ditugaskan menjaga adik sepupu laki-lakiku, Fasta. Dia sangat lincah dan menggemaskan,
membantu meringankan kesepianku.
“Apa
kau masih tidak berani mengambil bolanya? Kau bisa bermain bersama kami dan
tidak hanya menjaga bocah tiga tahun itu.” kata Marta padaku yang sedang bermain
rumput dilapangan bersama Fasta. Dia memang tidak pernah suka anak-anak,
meskipun dirinya juga masih anak-anak.
“Berhentilah
memikirkanku, aku baik-baik saja.”
Marta
tidak menjawab dan langsung pergi dengan tas ranselnya, ia selalu membawa tas
ransel itu kemanapun dia pergi. Banyak barang berharga yang ia simpan disana
ujarnya. Mengapa barang berharga harus dibawa kemana-mana? Dia memang aneh. Jujur,
sebagai anak laki-laki yang normal tentu saja aku ingin bermain bersama
teman-temanku dan tidak hanya berdiri disini sambil menjaga anak kecil.
Pikiranku berterbangan, tanganku meremas-remas rumput yang tadinya kumainkan.
Bosan? Tentu saja. Kupikir seharusnya aku berani mengambil bolanya, kulirik
lagi rumah itu… deg! Jantungku hampir berhenti berdetak saat aku melihatnya,
bola mataku serasa ingin keluar saking terkejutnya. Darahku berdesir, keringat
dingin membanjiri tubuhku.
“Fastaaaaaa!”
teriakku. Bocah tiga tahun itu kini berada di sela-sela pohon sengon, mendekati
rumah berdarah yang terlarang.
Kutengok
teman-temanku di lapangan―sepi―ternyata mereka sudah pulang. Memangnya berapa
lama aku tadi melamun? Oh bisa kalian bayangkan apa yang harus kulakukan kali
ini? Berlari kerumah dan melapor pada keluargaku? Ah itu terlalu lama! Entah
apa yang mendorongku untuk melakukan ini, tapi sekarang aku sudah berlari
mengejar Fasta yang justru semakin lincah bergerak kearah rumah itu. Aku
benar-benar tidak mengerti apa yang kurasakan sekarang. Perasaan takut
menguasai setiap sel di tubuhku, aku belum pernah sedekat ini dengan Rumah
Berdarah.
Fasta
berhenti berlari, akupun turut berhenti. Jarakku dengan bocah itu hanya sekitar
sepuluh langkah kaki sekarang. Dadaku naik turun mengatur napas yang
berantakan, kulihat sekelilingku―diantara pohon sengon dan barongan yang
melambai―perasaanku mulai tidak enak. Apalagi rumah itu semakin jelas dalam
pengelihatanku, aku bisa melihat gerbangnya yang reyot termakan usia. Ada
bebatuan yang disusun desela pekarangannya menuju ke sebuah pintu besar. Kurasa
itu pasti pintu masuknya.
“Fasta
kemarilah, ayo pulang. Akan kuberikan kau mobil mainan kesukaanku.” Ucapku pada
Fasta. Akupun tidak yakin dia mengerti apa yang kukatakan. Akupun juga tidak
mengerti apakah aku benar-benar mau melakukan apa yang kukatakan tadi. Tapi
setidaknya itulah usahaku untuk membujuknya.
Fasta
menoleh dan tersenyum menggemaskan, tapi kemudian dia berpaling dan kembali
berlari mendekat kearah rumah itu. Oh sungguh bocah ini benar-benar merepotkan.
Aku tak punya cukup nyali untuk terus mendekat, tapi sesuatu dalam diriku
mendorongku untuk segera menangkap Fasta dan pulang. Fasta yang kini justru
bergelantungan di pagar reyot dengan banyak tumbuhan merambat itu tertawa
girang. Mungkin dia pikir ini permainan kejar-kejaran, atau mungkin hantu
dirumah itu merasuki Fasta dan berniat memancingku disini untuk
membunuhku―karena bola itu mengganggu ketenangannya.
Bug!
Fasta jatuh dari pagar reyot itu dan terguling di tanah. Betapa lucunya ia
bergelinding seperti trenggiling. Andai keadaan ini bisa ditertawakan. Fasta
seperti magnet, aku yang tadinya hanya berada di sela-sela pohon sengon kini
ada di pekarangan Rumah Berdarah. Lutut Fasta sedikit berdarah, tapi dia tidak
menangis. Akupun menggendongnya, aku hampir lupa dimana aku berada sekarang
jika saja aku tidak mendengar bunyi barang jatuh dari atas. Seperti ada benda jatuh
dari lantai atas sana, pintu rumah itu juga sedikit terbuka kurasa. Aku
mematung di tempatku, sampai pada akhirnya kulihat sekelebat bayangan hitam
melintas di jendela lantai atas. Tak ambil pusing, segera kupaksa kakiku
berlari dari tempat mengerikan itu.
***
“Panca, bagaimana bisa kakimu berlumuran darah begini?”
Paman Kung yang ada dirumah saat itu khawatir melihat keadaanku. Dia pamanku
yang merawat Marta, tapi dia juga sangat sayang padaku.
“Aku hanya bermain sedikit, Paman.” Ujarku menahan takut.
Aku tak mau Paman dan keluargaku yang lain tahu apa yang terjadi padaku.
“Berhentilah bermain ditempat berbahaya, jika tak mau
terkena bahaya.”
Paman benar, tapi aku disana tidak untuk bermain. Andai
saja paman tahu apa yang terjadi. Dalam keluarga kami tak ada yang tahu tentang
Rumah Berdarah lebih baik dari Paman Kung. Aku berpikir untuk menceritakan
padanya, tapi tak sampai berani aku mengatakannya. Aku terlalu terbayang akan
resiko apa yang terjadi jika aku mengatakannya.
Hari ini malam Jumat, keluarga besarku sudah kembali
sejak sore tadi. Seharusnya aku sudah tidur malam ini, tapi aku tidak bisa
tidur karena memikirkan kejadian tadi. Sesuai adat di kampungku setiap orang
harus tidur selepas isya’ di malam Jumat. Konon, siapa yang tidak tidur dan
masih bangun akan dimakan ular sungai. Rumahku terletak paling barat, sejajar
dengan Rumah Berdarah meski jaraknya cukup jauh. Dibelakang rumahku ada sungai
besar, disanalah ular pemakan tinggal. Meskipun aku takut, tapi mau bagaimana
lagi. Aku ingin menghitung bintang dilangit, itu akan membantuku mengantuk dan
tertidur. Kuintip samar-samar lewat jendela kamarku yang menghadap ke utara.
Mataku menatap indahnya langit malam, yang selalu kulewatkan.
Jantungku pasti baik-baik saja jika aku tidak melihat
cahaya di barongan. Tapi kini, arah pandangku berubah. Aku yang tadinya
melihat langit kini melihat cahaya. Cahaya lampu senter menurutku. Mataku masih
sehat, rembulan sedang purnama, aku memiliki cukup pengelihatan malam ini. Sekitar
ada enam atau tujuh orang yang berjalan beriringan. Dua orang berjalan didepan
membawa senter, empat orang berjalan ditengah sambil menarik entah-apa-itu, dan
sisanya menerangi jalan di belakang. Yang membuatku heran apa yang mereka
lakukan di malam Jumat seperti ini? Mereka seharusnya tidur dirumah jika tidak
mau dimakan ular. Orang kampung pasti tidak bisa melihat ini, karena rumah
mereka jauh. Sementara di rumahku yang hanya satu-satunya berdiri di deretan
paling barat, aku bisa melihat dengan cukup jelas apa yang terjadi.
Yang membuatku semakin terheran-heran adalah kemana arah
tujuan mereka. Mereka berjalan kearah Rumah Berdarah. Siapa sebenarnya mereka?
Apa yang mereka lakukan?
***
Keesokan harinya, pada jam istirahat aku menceritakan
kejadian itu pada teman-temanku di sekolah. Tentu saja mereka tidak percaya
akan apa yang kuceritakan. Tapi setelah aku meyakinkan mereka, mereka tampak
antusias dan ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Menurutmu siapa mereka?” tanyaku pada teman-temanku.
“Perampok!” Saleh memberikan pendapat.
“Mana mungkin? Apa yang mau mereka rampok di rumah itu?
hanya kematian yang mereka cari!” ujar Christie membantah pendapat Saleh.
“Iya kau benar. Lalu apa yang mereka lakukan?” ujarku.
Kepalaku buntu dan aku tidak bisa memikirkan apa-apa.
“Apa kau yakin mereka kearah rumah itu? mungkin saja
mereka hanya melewatinya.” Kata Saleh.
“Aku tidak mungkin salah. Aku yakin sekali.”
“Panca, jika mereka mengarah kerumah itu pasti mereka
sudah mati. Dan sampai hari ini tidak ada kabar ada orang yang mati. Kau tahu
sendiri bagaimana mengerikannya rumah itu.” ujar Christie. Benar juga apa yang
dikatakannya.
“Mungkin saja mereka pemuja setan.” Marta tiba-tiba
melintas didepan kami sambil berucap dengan entengnya.
“Hey apa yang kau lakukan? Kau menguping pembicaraan kami!”
gertak Saleh. Dari awal dia tidak suka pada Marta karena sikapnya yang dingin.
Ditambah ketika kuceritakan perihal bola itu padanya.
“Kalau iya memangnya kenapa? Lagipula kali ini jawabanku
yang paling benar.” Jawab Marta sambil berlalu pergi.
Aku, Saleh, dan Christie terdiam. Berpikir.
“Mungkin dia benar. Kita harus memanggil dukun kalau
begini jadinya.” Christie membuka mulut.
“Benar. bukankah ibumu itu dukun, Saleh?” ucapku.
“Bodoh sekali kau ini, Panca. Ibuku memang dukun, tapi
dukun beranak. Mana bisa mengatasi masalah itu?”
“Tapi aku tertarik dengan masalah ini.” ucapku.
Dan akhirnya, malam ini Saleh menginap dirumahku. Dia
juga terlihat sangat tertarik akan hal ini sama sepertiku. Entah alasan apa
yang ia buat untuk orangtuanya sehingga ia bisa diijinkan menginap dirumahku.
Dia pembohong terbaik! Jendela kamar sudah kubuka sejak jam Sembilan malam
tadi. Dua cangkir kopi sudah ada disebelah kami sebagai penjaga mata. Seperti
biasa, kuawali saat-saat ini dengan menghitung bintang. Entah berapa banyak
bintang yang kuhitung, tapi saat-saat itu tak kunjung datang. Tak ada yang
melintas di barongan. Kulirik Saleh yang entah sudah berapa kali
menguap.
“Aku sudah tak tahan lagi, Panca. Kau saja yang jaga.
Nanti kalau mereka datang bangunkan aku.” Hanya itu kata-kata terakhir yang
kudengar. Selepas itu penantian kami tidak berakhir dengan berhasil.
Saleh tidak mau menginap dirumahku lagi, meski begitu aku
tidak putus asa. Setiap malam aku menunggu sendiri dibalik jendela berharap ada
yang datang. Benar saja, penantianku
tidak sia-sia! Malam ini, malam Jumat. Semua orang yang ada dirumahku sudah
tidur, tapi aku masih setia menanti. Karena aku percaya yang kulihat itu tidak
pernah salah. Cahaya senter menyinari sepanjang jalan di sekitar barongan. Saat
itu sempat ada cahaya yang mengarah kerumahku, aku sempat takut mereka
memergokiku. Refleks, akupun menunduk menyembunyikan diri. Sesaat kemudian aku
kembali melihat mereka, aku memberanikan diri melihat lebih lama. Dugaaanku
tidak salah! Mereka memang masuk kerumah itu! Mereka masuk ke Rumah Berdarah!
***
Wajah Christie langsung memucat saat aku menceritakan apa
yang terjadi. Saleh menyesal karena ia tidak menginap dirumahku tadi malam.
Yang jadi pertanyaanku adalah siapa mereka dan apa tujuan mereka. Menurut
Saleh, mereka datang dari jauh untuk memuja setan yang ada di Rumah Berdarah.
Hal itu memang wajar saja dilakukan karena seseorang bisa mendapat kekayaan
dari pemujaan setan tersebut.
“Sepertinya pembicaraan kalian menarik.” Sekali lagi
Marta datang dengan tiba-tiba menghampiri kami.
“Hanya perbincangan kecil, lupakan saja.” Christie
menanggapi.
“Kalian tidak berguna.” Ucap Marta dengan nada datar,
tetap dingin seperti biasanya.
“Pergilah bersama tas ransel berhargamu itu!” Saleh
akhirnya angkat bicara.
Marta terdiam, kemudian tersenyum sambil berbalik.
Kakinya sudah melangkah pergi ketika akhirnya dia mengatakan “aku sudah banyak
bertanya tentang rumah itu pada Paman Kung. Dia lebih membantu daripada
teman-temanmu, Panca.”
Aku masih tidak bisa melupakan kata-kata Marta tadi
disekolah. Entahlah aku sulit mengerti apa yang ada di pikirannya. Apakah dia
juga tertarik dengan masalah ini? dia sampai berani bertanya pada Paman Kung.
Sebuah tindakan yang bagus, karena Paman tahu banyak tentang Rumah Berdarah.
Tapi apa yang akan Marta lakukan selanjutnya? Ah sudah lupakan saja. Aku jadi
teringat saat dijalan pulang, Paman Kung berpesan sesuatu kepadaku. Paman
memintaku untuk berhenti mengawasi rumah itu. Pasti Marta yang memberitahunya.
Malam ini aku tidur nyenyak, sebentar lagi masalah itu
akan terkuak. Saleh dan Christie sudah berjanji untuk membongkar siapa
sebenarnya mereka. Malam Jumat minggu depan, kami akan bersama-sama melihat
para pemuja setan itu.
Minggu pagi terasa cerah, matahari menyapaku dengan
hangat sinarnya. Aku pergi kelapangan untuk bermain rumput dibawah pohon
seperti biasanya. Tidak kuduga, Marta ada disana. Di lapangan, bermain rumput
dibawah pohon.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku saat
menghampirinya. Dia hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku. Tapi kulihat
ada yang berbeda darinya.
“Mengapa kau melihatku seperti itu?” Tanya Marta. Dia
malah balik bertanya dan tidak menjawab pertanyaanku.
“Itu kamera baru? Paman yang membelikan itu untukmu?”
tanyaku. Dia hanya mengangguk, kemudian mengarahkan kameranya padaku. Dia
memotretku! Aku seperti orang aneh dibuatnya. Setelah itu yang terdengar
hanyalah tawa yang ia bawa lari. Menyebalkan!
Saleh mengajakku pergi ke kantin selepas upacara, pagi
ini matahari terik sekali. Aku juga ingin membeli air mineral dingin disana.
Christie menolak ikut, ia langsung ke kelas takut dimarahi guru. Aku berjalan
melewati kelas Marta, tapi dia tidak ada dikelasnya. Mungkin ia sedang ke kamar
mandi. Namun sepulang sekolah aku juga tidak menemukan Marta dimanapun,
biasanya dia selalu muncul didepanku meskipun hanya sekali. Entah kenapa aku
khawatir dia jatuh sakit. Kukatakan ketidakberadaan Marta kepada kedua
orangtuaku, mereka juga panik dan mencari Marta dirumah Paman Kung.
“Bukankah ia bersama kalian? Kemarin aku ada pertemuan
dengan teman-temanku. Maka aku menyuruhnya menginap dirumah kalian.” Hanya itu
jawaban yang keluar dari mulut Paman Kung.
Orang tuaku panik. Bagaimana tidak? Marta tidak ada
dimanapun. Dia juga tidak menginap dirumah kami kemarin. Terakhir kali aku
melihatnya hanya saat di bawah pohon itu. Tentu aku juga ikut panik. Para
tetangga juga berdatangan menghampiri kami. Ibu mulai menangis, ayah berbicara
dengan Paman. Para tetangga menanyaiku tapi aku tidak bisa memberi penjelasan
apapun. Tiba-tiba saja semua terdiam, melihat Paman Kung berlari.
Paman berlari cepat dan dengan langkah lebar, para
tetangga dan ayahku menyusul di belakang. Aku juga menyusul para pelari itu,
aku ada dibarisan paling belakang. Langkahku tidak selebar mereka. Paman Kung
melintasi lapangan tempat anak-anak biasa bermain, ia menerobos pohon sengon di
kanan kirinya, barongan yang melambai juga tidak menghentikan
langkahnya. Paman Kung berlari menuju Rumah Berdarah. Para tetangga berhenti di
antara pohon sengon. Tidak berani terlalu dekat dengan rumah berdarah. Aku
menerobos masuk, melewati gerbang reyot yang pernah kulihat sebelumnya. Ayah
hanya bisa berteriak saat aku berlari masuk menyusul Paman.
Aku tahu rumah itu luas, aku tahu rumah itu sangat besar.
Aku tidak melihat apa-apa lagi. Yang kulihat hanya satu, Paman berlutut
dihadapan saudara kembarku yang tergeletak tak berdaya. Aku melihatnya, kakak
perempuanku. Perasaanku tidak bisa dijelaskan, akupun tak berani mendekat.
Paman menggendongnya. Aku masih tak bergerak, mataku memandang sekeliling dan
mengambil benda berharga milik Marta. Kutemukan hal yang aneh pada tas ransel
Marta, bagian atas dan bawahnya diikat dengan tali. Kurasa itu tali dari
pakaiannya. Mataku kembali menerawang sekeliling, tidak ada apa-apa. Rumah ini
kosong. Hanya ada satu kotak lemari kecil yang terbuka. Rumah ini juga berbau
aneh, bau seperti cat.
“Panca cepat keluar dari sana!” entah siapa yang
meneriakkan itu, kurasa salah satu tetanggaku. Karena ayah dan pamanku sudah
berjalan dahulu sambil membawa Marta.
***
Aku tidak percaya Marta akan berakhir di Rumah Berdarah.
Ternyata hari itu adalah saat terakhirku melihatnya, saat dia tertawa setelah
memotretku. Aku tidak pernah melihat dia tertawa selepas itu, aku berharap bisa
melihat tawa itu sekali lagi dan seterusnya. Entah mengapa aku merasa marah.
Tidak tahu harus marah pada siapa.
“Menurut kalian apa yang dilakukan Marta dirumah itu?”
tanyaku pada Saleh dan Christie.
“Menurutku tentu saja dia ingin tahu tentang para pemuja
setan itu.” jawab Saleh.
“Dia pasti kesana di malam hari, dia juga terbunuh
dimalam hari.” Ucap Christie, memang benar yang ia katakan. Aku juga memiliki
pemikiran yang sama dengannya.
“Kurasa dia bukan dibunuh oleh hantu, tapi manusia.”
Ujarku.
“Maksudmu para pemuja setan itu? bukankah mereka kesana
hanya pada malam Jumat saja?” Tanya Saleh.
“Kau benar. Aku juga belum tahu pasti siapa pembunuhnya, tapi
perasaanku mengatakan bukan hantu yang melakukannya. Aku juga mulai tidak
percaya dengan rumor Rumah Berdarah itu.” jawabku.
Christie melotot, tapi kemudian tersenyum. “kau benar.
jika rumor itu memang benar pasti kau dan pamanmu sudah mati sekarang. Karena
kalian berdua juga masuk ke Rumah Berdarah.” Ucapnya.
“Ah aku mengerti!” kata Saleh, “lagipula menurut rumor
yang ada, siapapun yang mati disana darahnya akan berceceran. Tapi Marta mati
tanpa mengeluarkan darah.” Lanjutnya.
Aku seperti menelan pil pahit, cerita turun-temurun yang
sudah kami percaya dan mengakar dalam diri kami ternyata hanya bualan belaka.
Meskipun aku masih belum tahu pasti, tapi dari sini aku bisa menyimpulkannya.
“Apa tidak ada lagi yang kau temukan disana?” Tanya
Saleh. Aku menceritakan tentang tas ransel Marta dan lemari kecil itu. Karena
hanya itu yang kulihat.
“Astaga! Aku megerti!” suara Christie mengagetkan kami
semua. “dia mati terperangkap didalam lemari itu!”
Aku tidak mengerti apa yang Christie katakan, bukankah
dia tahu kalau Marta meninggal tergeletak di lantai, bukan didalam lemari. Aku
dan Saleh saling pandang tidak mengerti. Christie sekali lagi tersenyum, aku
tahu dia pasti mengerti keadaan kami, maka dari itu ia menjelaskan pendapatnya.
“Tas itu adalah simbol, jika bagian atas dan bawahnya
diikat dengan tali maka itu berarti ada yang terjebak. Terjebak seperti tikus.”
Aku dan Saleh sama-sama terkejut.
“Terjebak seperti seekor tikus?” Tanya Saleh.
Christie menangguk. “itu ada dalam peristiwa sejarah, apa
kalian tahu tentang Pertempuran Anegawa?” kata Christie, kami hanya tersenyum
getir tanda tidak mengerti apa-apa. “ada peristiwa yang terjadi sebelum itu,
pengepungan Kanegasaki. Ini terjadi di Jepang.” Tentu saja aku dan Saleh
menjadi semakin bingung. Sejarah Jepang? Aku tak menyangka Christie punya
pengetahuan seluas itu.
“Bisakah kau langsung pada inti penjelasannya?” Saleh
mulai tak sabar.
“Baiklah, intinya dalam peristiwa itu terjadi sebuah
pengkhianatan. Adik perempuan Nobunaga―tokoh dalam peristiwa itu―mengirimkan
sebuah tas yang diikat bagian atas dan bawahnya. Kakaknya tahu bahwa itu
berarti terjebak.”
“Aku mulai mengerti sekarang. Maksudmu Marta terjebak
dalam lemari kecil itu?”
“Tentu saja, Panca. Dia pasti kehabisan oksigen didalam
sana.”
“Tapi bagaimana kau tahu kalau tas itu benar-benar
simbol?” ujar Saleh. “maksudku, mungkin kau memang mengerti tentang simbol
terjebak itu dalam peristiwa sejarah. Akan tetapi Marta belum tentu memiliki
maksud yang sama. Aku meragukannya.” Lanjutnya.
“Saleh benar, aku juga tidak pernah melihat Marta tahu
banyak tentang sejarah. Lagipula, bagaimana ia bisa terbaring dilantai jika
awalnya ia ada didalam lemari?” tukasku.
“Aku bisa seyakin ini karena aku dan Marta pernah
menonton film bersama. Kisah tentang pengepungan Kanegasaki. Aku yakin bahwa
Marta tahu apa yang dilakukannya pada tas itu.” Jawab Christie.
“Aku terkejut mengetahui kau dan Marta pernah menonton
film bersama. Kalau begitu, berarti Marta tahu tentang tas itu.” ujar Saleh.
“tapi ada satu yang lebih mengejutkan.” Lanjutnya.
“Iya, ada satu lagi yang mengejutkan. Hal itu berarti
Marta ingin Christie yang mengetahuinya.” Ucapku.
“Bukan aku, tapi kita. Marta ingin kita
mengetahuinya.”
Benar. Marta ingin kami tahu tentang rumah itu, tentang
apa yang ada didalamnya. Marta ingin kami mengetahui bahwa ia terjebak. Ada
yang menjebaknya dalam lemari itu. Pertanyaannya, siapa dan bagaimana. Siapa
yang melakukan itu? Bagaimana Marta bisa terjebak disana dan akhirnya
tergeletak dilantai? Perdebatan panjang dan diskusi keras sudah terjadi
diantara kami. Hipotesisnya, ada satu yang menjadi tersangka. Paman Kung.
Paman Kung tidak ada di minggu malam itu. Kemungkinan ia
pergi kesana, kerumah itu. Ia bisa dengan mudah beralasan bertemu
teman-temannya. Paman Kung yang pertama kali berlari kearah Rumah Berdarah, itu
berarti ia sudah tahu bahwa Marta ada didalam sana. Bisa saja Paman Kung dengan
cepat mengeluarkan Marta dari lemari dan menggeletakkannya di lantai. Paman
yang sampai lebih dulu di dalam rumah itu. Bukankah lemarinya sedikit terbuka?
***
Cuaca sedikit berangin. Gemerlap bintang dilangit
memberiku semangat, cantiknya menyentuh relung dadaku untuk mengirim perintah
pada otak agar aku tersenyum. Malam ini akan kami ungkap semuanya. Akan kami
punahkan para pemuja setan itu. Saleh dan Christie sudah menunggu disamping
kandang ayam rumahku. Mereka sudah minta ijin menginap, namun tentu saja orang
tuaku tidak memperbolehkan aku membawa seorang gadis kedalam rumah. Akhirnya,
dengan baik hati Saleh menemani Christie disamping kandang ayam. Semenjak
kebohongan Rumah berdarah, mereka kini tidak takut pada ular sungai. Mereka
menganggaap cerita ular sungai yang akan memakan orang itu hanya mitos untuk
menakuti para warga, agar mereka tidak terjaga di malam Jumat. Sehingga para
pemuja setan itu bisa dengan liarnya bertingkah di Rumah Berdarah tanpa
diketahui warga.
Ayah mendengkur sangat keras dalam tidurnya, aku berharap
ia sudah pergi jauh kealam mimpi sekarang. Aku belum pernah kabur dari rumah
selama ini, hanya mengintip lewat jendela saja yang biasa kulakukan. Sekarang
aku diharuskan untuk berjingkat-jingkat agar bisa keluar dari rumah tanpa
diketahui siapapun. Aku berjalan sambil melihat kebawah, takut menginjak
sesuatu. Kamar orangtuaku sudah berhasil kulewati. Hanya tinggal berjalan 10
langkah kedepan, belok kanan melewati dapur dan sampai di pintu belakang rumah menemui
teman-temanku yang sudah menunggu.
“Panca, kau lama sekali! Kita kan sudah berjanji
berangkat lebih awal sebelum para pemuja itu datang mendahului!” Saleh selalu
tidak sabar. Harusnya ia tahu kesulitan apa yang kuhadapi didalam. Bagaimana
aku bisa keluar kalau ibu sedang didapur tadi. Beruntung aku bisa sampai disini
dengan selamat.
“Apa kau sudah siap?” Tanya Christie. Aku mengangguk
mantap.
Kami lewat pinggiran sungai yang ada di sisi barat dan
terus berjalan keutara. Kami tidak mungkin melewati perkampungan, takut para
warga akan tahu. Meskipun awalnya takut, tapi kami yakin bahwa ular itu tidak
ada. Saleh berjalan didepan dengan percaya diri, ia berkata bahwa ia telah
diberi jimat oleh ibunya―yang bisa menjaganya tetap aman. Disini sangat gelap,
tapi kami tidak menggunakan senter. Christie berkata bahwa itu malah takutnya
mencurigakan. Kami hanya mengandalkan pengelihatan kami yang sempurna, anugerah
Tuhan.
“Apa kalian mendengar sesuatu?” kata Christie.
Kami membuka telinga, Saleh memandangku dengan khawatir,
suara desisan. Tentu saja pikiran kami sama pada saat itu : desisan ular. Aku
mengamati sekeliling, air sungai berkecipak pelan. Mungkin hanya ikan, pikirku.
Kami mencoba berpikir positif dan terus berjalan, makin lama langkah kaki kami
makin lebar, air sungai berkecipak sekali lagi, tanpa pikir panjang kami
langsung berlari. Kami tidak ingin berakhir disungai tanpa mengetahui apa yang
terjadi di Rumah Berdarah. Barongan menjulang dan menyanyikan lagu
angin, menyampaikan pesan agar kami berhati-hati. Aku berharap suatu saat bisa
bermain dengan teman-teman diantara barongan ini.
Saleh berdiri menggenggam jimatnya, aku tahu tangannya
gemetar kala itu. Christie menunduk terus daritadi, aku takut terjadi sesuatu
padanya. Mungkin dia belum terbiasa, tidak sepertiku yang kini sudah tiga kali
kerumah ini. Aku yang paling tenang diantara mereka. Kami didepan Rumah
Berdarah. Rumah itu berlantai dua, pintunya sangat besar. Banyak tumbuhan
merambat hidup subur di sela-sela jendelanya. Saleh yang tadinya berjalan
didepan, kini menyerahkan posisinya padaku. Aku memantapkan hati dan berjalan
melewati gerbang reyot.
“Panca!” Saleh memanggilku, kutengok ternyata Christie
muntah-muntah. Wajahnya sangat pucat, aku jadi merasa bersalah karena
melibatkannya dalam semua ini.
“Aku tidak apa-apa, aku memang muntah jika ketakutan. Aku
baik-baik saja.” Sebelum aku bertanya, Christie sudah menjelaskan keadaannya.
Sungguh malang sekali nasibnya. Tapi kuakui dia hebat, kalau aku sepertinya
pasti sudah muntah sejak di sungai tadi.
“Apa kau yakin tidak apa-apa? Kau mau menunggu disini
saja?” ucapku.
“Ah tidak. Aku ingin ikut bersama kalian, Marta juga
pasti ingin kita bersama.”
Perjalanan kami lanjutkan, sesekali tikus lewat didepan
kami. Mungkin para tikus juga ingin memberi semangat, aku tak akan melupakan
mereka. Dugg! Seperti suara barang jatuh, kami terlonjak kaget. Suaranya
dari belakang rumah ini, kupikir itu tikus. Kami saling menyemangati lewat
sorot mata, kami banyak terdiam setelah mendekat di rumah ini. Aku memandang
pintu besar didepanku, agak terbuka sedikit di sisi kirinya, tidak terkunci.
Sekilas kualihkan pandanganku keatas, sekelebat bayangan hitam melintas dari
atas sana. Mungkin hanya tumbuhan merambat yang menyapa karena tertiup angin.
Aku masuk kedalam rumah itu dan menunjuk kelantai,
teman-temanku melihat kemana arah jari telunjukku. Mereka mengerti bahwa disana
tempat Marta tergeletak tak berdaya. Saleh masih dengan jimat ditangannya,
entah dia bergumam apa aku tak mengerti.
“Kita akan kemana?” Tanyaku.
“Mau naik tangga itu?” ujar Christie.
Aku tidak yakin, tapi dilantai dasar hanya ada ruangan
kosong. Tidak ada petunjuk apapun. Akhirnya kamipun menaiki tangga perlahan.
Perasaan takut mulai menguasaiku, aku tahu ini tidak nyaman karena sedari tadi
aku yang paling tenang dan meyakinkan teman-temanku bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Tangga ini spiral, ujungnya kelantai atas. Aku takut ketinggian
dan tak berani menoleh kebawah.
“Ada ruangan.” Bisik Saleh
Aku melihat ruangan itu, pintunya masih lebih bagus dan
tidak reyot seperti pintu lain yang ada dirumah ini. Pintu itu tertutup. Aku
yang pertama berada didepan pintu itu, tapi tidak ada gagang pintunya. Aku
mencoba mendorong pintu itu, Saleh turut membantu tapi tidak ada hasil. Pintu
itu tetap rapat. Christie maju dan menggeser pintunya, terbuka. Astaga otakku
tidak bisa berpikir logis kalau sedang ketakutan begini.
“Kau sangat membantu.” Ucapku pada Christie. Sebenarnya
ucapan itu lebih mengarah kepada kau tidak berguna untuk diriku sendiri.
Christie menunduk terus sedari tadi, aku takut dia muntah
disini. Langkahnya tiba-tiba berhenti, dia tetap menunduk. Aku ikut melihat
arah pandangnya. Kami tidak berbicara apapun tapi saling mengerti satu sama
lain. Ada botol dikaki Christie. Aku memungutnya, baunya tercium seperti cat.
Sangat menyengat. Botolnya dari beling dan agak berat, Saleh dan Christie juga
turut memetiksa botol itu bergantian.
“Botol minuman keras?” tanyaku
“Sepertinya begitu, baunya menyengat sekali.” Jawab
Saleh.
“Apa para pemuja setan itu mengkonsumsi minuman keras?”
ucap Christie.
“Sepertinya begitu, seperti yang kita lihat ini. Ada
beberapa botol sejenis yang berserakan.” Ujarku.
“Tapi kalau mereka benar-benar memuja setan, apa mereka
tidak punya sesajian untuk itu?” Tanya Christie.
“Aku rasa mereka membawa sesajian.” Ujarku sambil
mengingat benda entah-apa-itu yang ditarik oleh empat orang dirombongan para
pemuja setan. “ada benda yang mereka bawa, cukup besar. Tapi aku tidak bisa
melihat dengan pasti apa itu.” lanjutku.
“Lalu dimana mereka meletakkan sesajian itu?” Tanya
Saleh.
“Mungkin sesajian nya sudah habis dimakan hantu.”
Tak kusangka jawabanku itu membuat Christie muntah lagi.
Ternyata dia benar-benar takut. Apakah Christie membayangkan hantu memakan
sesajian? Entahlah aku tidak bisa membaca pikirannya. Tangan Christie sangat
dingin, aku takut dia pingsan disini. Itu pasti sangat merepotkan mengingat
kami berada dilantai atas sekarang.
Lagi-lagi terdengar suara benda jatuh, namun kali ini
terdengar sangat keras. Pantas saja, karena kami berada didalam rumah sekarang.
Apa kalian bisa membayangkan ada sesuatu tiba-tiba bergerak disekitar tengkuk
kalian? Merambat dibelakang dan seperti menyentuh halus dibawah leher. Itu yang
kurasakan sekarang. Aku seperti merasa ada yang mengawasi kami. Otakku
memproses sebuah gambar yang mengerikan, aku mencoba menghilangkan
gambar-gambar aneh itu dari pikiranku. Aku tak mau terlihat gelisah didepan
teman-temanku.
“Ayo kita berjalan kearah sana.” Bisikku sambil menunjuk
bagian kiri dari ruangan itu. Mereka mengikutiku, Christie terlihat cukup baik
meskipun wajahnya memutih. Langkah kami mendadak terhenti, pandanganku seperti
mulai bias. Pertahananku hampir goyah. Saleh langsung melangkah mundur. Dan
Christie, muntah.
Benda itu panjang, kira-kira 148cm. Benda itu
ditumpuk-tumpuk, dan cukup banyak. Ada enam baris, setiap baris terdiri dari
delapan tumpuk benda. Benda itu memiliki ukuran seperti tubuh manusia. Bagain
luarnya ditutupi kain putih, kain putih bersih yang diikat bagian atas, tengah,
dan bawahnya. Aku tidak berani menyebutkan apa isi dibalik kain putih itu, aku
berharap isinya hanya pelepah pisang atau guling kapuk. Tapi…
“Mayat!” pekik Saleh.
Tentu saja kami tahu. Tentu saja itu yang kami pikirkan
pertama kali saat melihatnya. Tentu saja itu yang membuat langkah kami
terhenti. Aku tidak pernah berpikir akan berada pada situasi sesulit ini. Apakah
kalian bisa membayangkan rasanya berada diantara empat puluh delapan mayat?
Kreek.. suara pintu yang digeser itu memusnahkan
kepatungan kami. Kami saling pandang, bingung. Tentu saja itu berarti ada yang
masuk. Tanpa pikir panjang aku berlari diantara tumpukan mayat itu, dan
berhenti pada salah satu sisi ruangan yang gelap, agak tersembunyi. Tertutup
tumpukan mayat baris kelima. Setidaknya disanalah kami bersembunyi. Tidak
pernah terpikirkan olehku akan menghabiskan malam diantara tumpukan mayat,
beruntung mayat-mayat ini tidak berbau busuk.
Aku melihat sosok itu masuk. Dia memakai pakaian serba
hitam, aku tak bisa melihat wajahnya. Dia memakai semacam masker, yang juga
berwarna hitam. Rambutnya yang panjang tergerai turun menutupi sela-sela
matanya. Sosok itu tiba-tiba berhenti dan melihat kebawah, bekas muntahan Christie.
Dia berjongkok dan memeriksa bekas muntah itu, diraba dengan tangan kirinya,
dan ia mendekatkan tangannya ke hidung. Menjijikkan, baunya pasti aneh,
terlihat dari ekspresi sosok itu yang tiba-tiba mengibaskan tangan kirinya.
Yang kutahu ternyata tangan kanannya memegang sesuatu. Seperti sebuah golok,
yang sangat tajam. Pasti dengan mudah memenggal kepala kami dengan satu sayatan
tajam.
“Tenang, aku punya jimat, kita akan aman!” bisik Saleh.
Dia begitu percaya diri meskipun kutahu kakinya gemetaran.
Sebelum aku bisa mengucapkan terimakasih atas usahanya
menenangkanku, dia tiba-tiba keluar dari tempat persembunyian dan mengacungkan
jimatnya didepan sosok itu! “kemarilah, aku punya jimat! Kau akan musnah! Aku
tidak takut!” teriak Saleh. Mungkin aku sedikit yakin jimat itu akan berhasil
digunakan pada makhluk halus. Tapi tidakkah Saleh bisa sedikit berpikir bahwa
sosok yang ada didepannya ini menginjak tanah?
Tepat, sosok itu pasti terkejut bercampur heran melihat
Saleh berdiri didepannya. Saleh juga pasti terkejut bercampur heran melihat
sosok yang ada didepannya tidak musnah. Sosok itu berjalan satu langkah
mendekat, pertahanan Saleh mulai goyah. Golok itu berkilau terkena sinar
rembulan. Aku sudah beranjak dan ingin pergi kesana kalau saja Saleh tidak berlari
pergi entah kemana. Sosok itu sudah jelas, mengejar Saleh.
“Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Apa yang akan
terjadi pada Saleh?” kataku khawatir. Christie diam saja, ia memainkan
tangannya. Aku tahu dia pasti sedang melawan rasa takutnya kala itu.
Christie bangkit, ia mencoba berdiri meskipun kakinya
gemetar. Ia berjalan sedikit kedepan. Tapi kemudian dia gagal, Christie muntah.
Lebih parahnya lagi Christie mengeluarkan isi perutnya―yang hanya tersisa air
saja―kearah tumpukan mayat. Christie langsung mundur karena terkejut. Aku
kasihan, ia menghabiskan seluruh isi perutnya disini.
Christie seperti ingin
muntah lagi, tapi kutiup wajahnya dengan keras sehingga ia tak jadi muntah. Aku
tak tahu ternyata ini berhasil, biasanya orangtua akan melakukan hal itu pada
bayinya yang ingin muntah, jadi kutiru saja. Christie mengambil napas panjang,
kemudian ia melihat bekas muntahannya di mayat itu tadi. Ada yang aneh.
Kain putih itu menyusut sedikit, berubah bentuk dari
bentuk awalnya. Seharusnya kain itu hanya basah dan tidak menyusut sedikit jika
yang ada didalamnya padat. Aku dan Christie saling pandang, pasti yang ada di
pikiran kami sama. Karena aku tahu bahwa Christie tidak memungkinkan untuk
memeriksa apa yang ada didalam kain putih itu, maka akulah yang memeriksanya.
Aku berharap tidak bertemu dengan mata yang tiba-tiba melotot saat aku membuka
kain itu. Aku bersyukur, karena akhirnya yang kutemukan disana bukan mayat.
Iya, bukan mayat. Christie memegang benda itu. Satu helai kuambil dari dalam
kain. Mengejutkan ketika yang ada didalamnya hanyalah daun.
“Daun apa ini, Panca?” Tanya Christie padaku, kupikir
seharusnya aku yang bertanya.
“Entahlah aku tak tahu. Aku tak bisa melihat dengan jelas.
Lagipula apa gunanya dau-daun sebanyak ini?” jawabku.
“Entahlah, dijual mungkin.” Jawab Christie. “kurasa
kelompok itu bukan kelompok pemuja setan.” Lanjutnya.
“Mungkin saja. Lalu untuk apa harus diletakkan disini
tumpukan daun ini? daun jenis apa ini?”
“Tembakau.” Kata Christie.
“Tembakau memang daun yang banyak dijual untuk rokok,
tapi kurasa bukan tembakau.” Ujarku setelah mencium bau daun itu. “daun ini
disembunyikan, itu berarti daun ini illegal. Hanya satu jenis daun yang pantas
menduduki posisi ini. Daun ganja!”
Mata Christie berbinar, seperti telah menemukan harta
karun. Wajahnya yang pucat kini telah berubah normal. “sudah kuduga sebelumnya
bahwa kelompok itu bukan para pemuja setan! Sedari tadi aku melihat sekeliling
rumah ini tapi tak menemukan adanya tanda-tanda para pemuja setan. Justru yang
kutemukan malah botol minuman keras!” Ia seperti terserang penyakit semangat,
matanya menyisir seluruh ruangan ini, mencoba mencari petunjuk lain. Berhasil,
ia menemukan secarik kertas. Ada isinya, namun ditulis dengan pensil yang tipis
sehingga mataku sulit melihat isinya. Apalagi kami berada di dalam ruangan yang
gelap. Aku akhirnya meludahi kertas itu, sehingga tulisannnya sedikit muncul.
Ternyata hanya pesan singkat.
Barang
dikirim jangan yang terlalu basah. Angkut di Kapuas II.
Setahuku, Kapuas II
adalah nama sebuah kapal angkut barang yang sering lewat di sungai kampung
kami. Kini aku tahu, rumah ini dijadikan tempat penyimpanan ganja. Pasti barang
yang orang-orang itu bawa adalah ganja, mereka petani ganja. Daun-daun ini
dikirim lewat jalur air. Rumah ini memang strategis dijadikan tempat
penyimpanan.
“Ayo kita segera menyelamatkan Saleh dan menghubungi
polisi.” Kataku.
Kami berjalan keluar dari ruangan ini dan menuruni
tangga, sesekali aku menoleh takut ada seseorang tiba-tiba muncul dibelakangku.
Sesampainya di tangga, aku turun dengan langkah yang sangat pelan. Sungguh aku
benci ini, aku sangat takut ketinggian. Kira-kira kurang tiga anak tangga lagi
terlewati, Christie tiba-tiba menarik tanganku. Ia menyeretku ke sisi lain di
lantai dasar. Ternyata ada orang datang, para petani ganja itu! aku melihat
pintu di bagian belakang rumah ini dan menunjukkannya pada Christie. Kami
segera berlari kearah pintu itu.
Buruk, pintunya tertutup. Aku menariknya dan berhasil
terbuka sedikit. Sialnya, bunyi pintu itu membuat para petani ganja tahu.
Mereka langsung mengejar kami. Aku dan Christie lari terbirit-birit. Dibagian
belakang rumah ini banyak sekali semak belukar, entah berapa kali kakiku termakan
duri tajam. Disaat seperti ini aku tak tahu dimana Saleh berada, lebih baik aku
memikirkan keselamatan diriku dahulu. Aku menengok kebelakang, Christie tidak
ada. Yang ada hanya petani ganja yang mengamuk mengejarku. Rupanya aku dan
Christie lari kearah yang berlawanan saat keluar dari rumah itu tadi. Aku
hampir kehilangan tenaga, rasanya lelah sekali. Seekor tikus melintas didepanku
dan masuk kesebuah lompongan―semacam terowongan kecil―disamping rumah.
Akhirnya kudapatkan harapan, aku berlari kesamping dan berjalan miring memasuki
lompongan itu. Terimakasih, tikus.
Aku merasa sedikit beruntung kali ini, aku selamat. Aku
kini bisa mengatur napasku dengan baik. Tapi aku tidak yakin bagaimana keadaan
teman-temanku yang lain. Bagaimana dengan Saleh? Apalagi Christie. Aku berharap
ia tidak muntah lagi. Baru saja aku bisa bernapas, tiba-tiba ada suara jejak
kaki yang menuju kearahku. Jantungku berdegup cepat, keringat dingin lagi-lagi
melewati pelipisku. Aku melihat Paman Kung melintas, refleks aku menyamping
sedikit. Tapi sial, kakiku menginjak ranting. Paman Kung tentu saja tahu dimana
keberadaanku, ia langsung menyeret tanganku keluar dari lompongan.
“Tenanglah, Panca.” Kata Paman Kung. Apa dia gila?
Bagaimana aku bisa tenang kalau tahu sebentar lagi nasibku akan berakhir sama
seperti Marta.
Aku berontak mencoba melepaskan diri, tapi kemudian aku
mendengar suara itu. Suara sirine polisi. Sirine polisi? Ada polisi disini?
Siapa yang memanggil? Belum sempat aku mengerti tiba-tiba ada yang keluar dari
dalam air sungai, Christie. Dia menyelam? Ternyata ia bersembunyi di sungai
tadi. Pantas aku tak melihatnya.
“Aku yang memanggil polisi, sesuai permintaan Marta.
Marta menuliskannya dalam sebuah kertas yang kutemui di saku bajunya. Tepat
sesuai hari dan jam nya.” Ujar Paman.
Marta meminta untuk dipanggilkan polisi pada hari ini?
berarti dia sudah tahu semuanya sebelum
meninggal dan masih sempat menulisnya. Aku melihat para petani ganja itu
diborgol, mereka ditarik paksa masuk kedalam mobil polisi. Tumpukan daun ganja
yang disimpan dalam kain putih yang mirip mayat itu juga disita polisi. Semua
warga berkumpul ingin melihat apa yang terjadi disini. Aku melihat Saleh ada di
ujung selatan rumah ini. Ia menengok kearah kampung.
“Kau selamat? Syukurlah. Apa yang terjadi?” tanyaku
sambil menghampirinya.
“Setan itu bapakku. Yang bawa golok. Dia tak mungkin
membunuhku.” Jawabnya. Aku terkejut mendengar jawaban Saleh. “Aku tahu saat
melihat penampilannya, maka itu aku berani berhadapan dengannya. Dia lari sejak
tadi. Beruntung tidak ditangkap polisi. Dia yang menjaga rumah ini.” Saleh
melanjutkan, aku tahu ini sangat pahit baginya.
“Maafkan aku.”
“Kau tak perlu minta maaf, Panca. Kalaupun bapak
tertangkap itu sudah salahnya, kukira dia bekerja sebagai apa selama ini.
ternyata kerja seperti ini.” ujar Saleh lirih.
“Hai kalian, siapa yang memanggil polisi?” Christie
datang dengan memakai kaos polisi yang kedodoran. Aku kasihan dia sudah muntah,
malah basah-basahan di air. Meskipun akhirnya kutahu ia hanya
berniat sembunyi di sisi sungai tapi akhirnya terpleset .Masuk angin parah
pasti gadis itu.
“Paman Kung. Ternyata bukan dia yang membunuh Marta.
Kupikir Marta mati terjebak karena bersembunyi dari penjaga rumah itu, dia
kehabisan oksigen dan mencoba mendobrak lemari kecil itu. Tapi berakhir dengan
kematiannya yang tergeletak dilantai.”
***
Mentari menyapa lewat terik kilaunya, membuat mataku
terpejam karena silau. Beberapa hari ini warga kampung mewawancaraiku, aku
seperti seorang artis dibicarakan disana-sini. Begitupula dengan Christie dan
Saleh. Orangtuaku memarahiku atas apa yang kulakukan, itu sudah pasti. Mereka
tidak bangga padaku ternyata. Paman Kung bisa tahu bahwa Marta meninggal di
rumah itu, karena akhir-akhir ini Marta selalu menanyakan tentang bahaya yang
ada dirumah itu pada Paman. Tentu saja Paman tahu banyak tentang Rumah Berdarah,
karena paman pengrajin bambu. Dan bambu itu ia dapat dari barongan. Seharusnya
aku bisa berpikir tentang hal itu dari awal. Aku masuk kedalam kamarku, melihat
sebuah tas bertali diatas kasur kapukku.
Sebuah buku catatan. Aku membuka dan menemukan sesuatu
yang menarik. Pada halaman ke duapuluh ada gambar dari pensil, sebuah gambar
rumput yang layu. Rumput didepan rumah itu banyak bekas injakan kaki, ada
orang yang pernah kesini baru-baru ini. Pada halaman ke duapuluh tiga ada
gambar sebuah bola, yang tergenang di air. Bolanya terkena air, padahal
tidak hujan. Ada orang yang mencipratinya. Aku tidak menyangka bahwa Marta
berani datang kerumah itu, ia menggambarkan apa yang ia temukan disana. Dalam
catatannya, ia berasumsi bahwa rumah itu tidak berhantu. Pada halaman terakhir,
tidak ada gambar yang kutemukan. Hanya sebuah tulisan.
Panca membuktikan bahwa
memang ada manusia yang kesana. Aku semakin yakin bahwa tidak ada hantu. Aku
akan kerumah itu, mengambil bola. Agar Panca bisa bermain lagi.
Apa? Jadi Marta kesana untuk
mengambil bola itu? Jadi selama ini dia memikirkanku. Dia adalah kakak yang
baik. Hatiku tersentuh melihat catatannya, aku menutup catatan itu. Dari isi
tasnya, aku tahu bahwa Marta terobsesi menjadi detektif. Tas yang berharga.
Sesuatu terjatuh dari sela-sela buku catatannya, sebuah foto. Fotoku dengan
ekspresi kebingungan yang sulit dejelaskan. Bibirku terbuka seperti orang
bodoh. Aku pun membalik foto itu.
Namanya Panca, aku ingin menjadi seperti dia.
Air mataku menetes.
Aku melewati pagar reyot yang dipenuhi tumbuhan merambat,
kulihat sekeliling dan teringat akan peristiwa akhir-akhir ini. Peristiwa
kejar-kejaran yang melelahkan. Beruntung disekitar sini mulai ramai, banyak
para pengrajin yang mencari bambu disekitar rumah ini. Aku mencari benda yang
seharusnya bisa kuambil sejak lama, bola yang tersesat. Seperti yang
digambarkan Marta, bola itu kotor, terdapat bekas lumpur dipermukaannya.
Mungkin karena genangan air itu sudah kering. Kuambil bola itu dengan hati
gemetar, andai aku melakukannya sejak dulu. Pasti Marta tidak akan berakhir
seperti ini.
Teman-temanku ada di lapangan, Bara juga disana. Mereka
semua berhenti bermain saat melihat aku datang membawa bola dan menghampiri
mereka.
“Apakah sekarang aku boleh ikut bermain?”
***
Komentar
Posting Komentar