SENJA DI BAWAH SURGA
Ini basih baru belajar nulis, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. terimakasih ^^
SENJA
DI BAWAH SURGA
Hanya enam detik waktu bagi gadis itu untuk berpura-pura
tidak mendengar panggilan ibunya, selepas itu ibunya pasti akan menghujaninya
dengan omelan panjang yang menjadi pembuka mimpi buruknya malam nanti. Maka
sebelum enam detik itu berlalu, gadis itu dengan segera beranjak dari tempatnya
memandang langit di waktu senja menuju sumber suara yang memanggilnya.
Terkadang gadis itu bertanya akan sampai kapan dirinya melewatkan senja, tapi
aku meyakinkannya bahwa pasti ada saat dimana ia bisa dengan tenang menikmati
senja.
**
Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang periang,
aktif, dan sangat bersemangat. Terlepas dari semua itu, kuperhatikan lebih
dalam lagi dirinya dan aku menemukan sisi yang jarang orang lain lihat dari
dirinya, pemurung. Setidaknya itulah menurutku. Awalnya aku merasa gadis itu
punya dua kepribadian, tapi ternyata perbedaan kepribadian itu memiliki hubungan
dengan tempat.
“Sepertinya aku terlambat ke sekolah, bisakah ibu bersiap
lebih cepat untuk berangkat segera?” suara gadis itu terdengar lantang dari
dalam kamarnya. Tapi gadis itu merasa bahwa ibunya tidak mendengarkan
ucapannya, atau Ibunya hanya berpura-pura tidak mendengarnya.
“Sabarlah, ibumu tidak mau didesak. Kau akan tiba di
sekolah dan menyelesaikan semuanya tepat waktu.” Aku mencoba menenangkannya.
Tetapi sepertinya usahaku untuk menenangkannya sia-sia,
gadis itu tetap panik. Bersekolah di SMA terbaik di kota ini memang menuntutnya
untuk selalu disiplin waktu. Apalagi jarak dadi rumah ke sekolahnya juga tidak
dekat. Dan ia pun masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat
ke sekolah. Namun kurasa kepanikannya pagi ini bukan karena ia takut terlambat
ke sekolah. Tapi karena ia belum mengerjakan tugas.
***
“Apa itu sekolah bagimu?” tanyaku pada gadis itu saat dirinya
tampak begitu lelah sepulang sekolah. Wajar jika ia lelah siang ini, jadwal
pelajaran hari Sabtu memang acap kali membuat gadis itu jengah.
“Tempat mencari ilmu…” jawabnya, “terkadang juga bisa
menjadi neraka.” Lanjutnya.
Aku
percaya bahwa jawaban yang tepat untuk saat ini adalah jawaban kedua dari gadis
itu. Sekolah memang tempat mecari ilmu, tapi bagaimanapun juga definisi neraka
juga cocok untuk sekolah. Tugas yang menyiksa, guru yang sulit dimengerti isi
hatinya, ulangan yang bertubi-tubi, UTS yang tidak terjadwal dan terkadang memaksa
untuk mempelajari empat mata pelajaran sekaligus dalam sehari, apa lagi yang
lebih menyiksa dari semua itu? Kurikulum baru yang seringkali membuat siwa―termasuk
gadis itu―bingung. Siswa menemukan masalah sendiri, menyelesaikan masalah yang
ditemukannya sendiri, dan menilai hasil penyelesaian masalahnya itu sendiri.
Lalu dimana guru kami? Mungkin benar, lambat laun posisi guru akan digantikan
oleh internet.
Gadis
itu berharap setibanya dirumah nanti ibunya tak akan menyuruhnya untuk
melakukan pekerjaan rumah, setidaknya untuk hari ini saja. Bukankah ini hari
Sabtu? Menurutku cukup adil jika ibunya membiarkan gadis itu menikmati senja
dihari ini. Hanya menikmati senja. Hal itu pasti bisa membuat penatnya
disekolah seharian ini musnah, sirna, ditelan oleh pesona senja.
Selepas
mengisi perutnya, gadis itu menatap ponselnya. Masih jam dua siang.
Gadis itu pun tak menyia-nyiakan waktu hanya dengan mematung, ia menghempaskan
tubuh ke pulau kapuknya yang nyaman. Aku pun turut berbaring bersamanya,
kutarik selimut hijau bermotif kodok yang kudapat dari Bali, kami pun terlelap
dengan tenang. Namun apalah arti sebuah ketenangan jika hanya sementara, apalah
arti mimpi indah jika terbilas waktu, memudar dari harapan tapi tak dari
ingatan. Adakah yang abadi didunia ini? Layaknya daun yang tak selamanya
berpangku pada pohon, waktu akan membuat daun itu jatuh dari pangkuan pohon dan
tersungkur di tanah. Begitupula dengan kenyamanan gadis itu, waktu menggerus
kenyamanan yang baru dirasakannya. Tak ada yang abadi.
“Apa
yang kau lakukan seharian ini? hanya tidur saja yang kau bisa. Mengapa tak
sedikitpun kau bisa mengerti?” gertakan ibunya membuat gadis itu terlonjak
kaget saat membuka pintu kamarnya. Bagaimana tidak, jika tahu-menahu ibunya
sudah berdiri didepan pintu kamarnya sambil memarahinya.
“Aku
hanya tidur sebentar bu, aku sangat lelah hari ini.” jawab gadis itu.
“Kau
bilang sebentar? Lihat jam dinding! Sudah jam lima, sebentar lagi maghrib dan
kau tidak membersihkan rumah, lihat dibelakang cucian menumpuk! Rumah belum
juga disapu. Mau jadi apa kau?”
Cukup
sudah. Gadis itu tidak mau mendengar apa-apa lagi,
pembelaan yang ia katakan juga pasti tak ada gunanya. Ia paksa kakinya untuk
melangkah ke kamar mandi dan segera mencuci pakaian yang menumpuk disana. Dan
meskipun gadis itu sudah berada didalam kamar mandi dan melaksanakan tugas,
tetap saja ibunya marah. Aku sendiri turut geram akan perilaku Ibu gadis itu.
Aku tahu bahwa ibu gadis itu juga lelah sepulang bekerja, tapi tidakkah ia
memahami bahwa putrinya juga lelah?
Semua
hal yang terjadi hari ini, diungkapkan melalui tulisan dalam buku harian milik
gadis itu, segala isi hatinya termasuk kelelahan dan kekesalannya hari ini juga
tak luput dari goresan pena. Kebiasaan yang tak boleh ia lewatkan sebelum
tidur.
***
Tak ada waktu baginya untuk menikmati senja. Cara apa
yang harus ia lakukan? Tugas rumah, tugas sekolah, membuatnya kehilangan saat
ketika piringan matahari secara keseluruhan telah menghilang dari garis
cakrawala. Aku ingin memberikannya satu cara konyol tapi aku masih ragu apakah
ia akan melakukannya. Aku ingin mengurungkan niatku untuk memberitahu gadis itu
tentang cara konyolku. Tapi gadis itu mendesakku untuk mengungkapkan cara itu.
Terpaksa, akupun mengatakannya. Seperti dugaanku sebelumnya, dia bersorak, ada
yang membuncah dalam dirinya, menggetarkan seluruh neuron untuk
berceria, begitulah sambutannya atas cara konyolku.
Senin pagi gadis itu sudah melaksanankan cara konyol yang
kuberikan, meskipun aku ingin menghentikannya tapi di sisi lain aku tak bisa
melakukannya karena gadis itu terlanjur gembira. Dan betapapun konyol cara itu,
jauh lebih pantas disebut cara bodoh.
“Sepertinya ini bukan lagi sekedar pura-pura.” Kata gadis
itu dengan wajah pucat.
Aku mengutuk kebodohanku yang menyuruh gadis itu untuk
berpura-pura sakit, demi memperdalam perannya sebagai seorang gadis yang sakit
ia pun tidak sarapan pagi tadi. Alhasil, sepulang sekolah ia bukan lagi seorang
gadis yang pura-pura sakit, namun benar-benar sakit. Nasi pun rasanya enggan
masuk kedalam perutnya siang ini. Sudah terlambat memang, tapi aku menyuruhnya
untuk tetap makan. Gagal. Perutnya bergejolak. Pasrah, gadis itupun berbaring
di kamarnya dan berharap ibunya segera pulang lalu merawatnya.
Namun kita seringkali dibutakan oleh harapan, tertipu
oleh indahnya angan, dan berujung kecewa ketika tak seperti perkiraan. Hanya
tersisa pilu yang mematikan jiwa raga. Aku pernah berharap tapi aku dikecewakan,
pernah percaya namun akhirnya dikhianati, dan kini aku melihat gadis itu jauh
kedalam pelupuk matanya. Tersirat rasa muak, marah, benci, kesal, yang takkan
pernah bisa diungkap aksara. Ia ingin marah tapi tak tahu harus marah pada
siapa, yang kutahu dia takkan pernah marah padaku. Aku tak pernah berhenti
mengutuk kebodohanku dan gadis itu hanya bisa mengasihani dirinya sendiri.
Jangankan untuk melihat senja, berdiripun sudah tak mampu. Sampai langit
berubah hitam perut gadis itu masih kosong, dan ibunya tak kunjung datang.
“Tidak ada yang mengerti aku!” kata gadis itu. Ia melihat
dirinya sendiri dicermin―wajah kusut, pucat, rambut acak-acakan―begitu
menyedihkan.
“Aku yang selalu mengerti kau. Aku disini, kau tidak
sendirian. Kau punya aku.” Ujarku pada gadis itu, aku mengerti apa yag ada
dalam hatinya, aku merasakan sakit yang ia rasakan. Aku tahu betapa pilunya
menjadi seperti seonggok daging yang tak berguna. Merasa seperti sudah tak ada
yang mengharapkan diri ini.
“Aku ingin pergi saja dari rumah ini.” kata gadis itu
sambil terisak, ia menangis meratapi dirinya. Tangisnya itu tak berguna dan
hanya menambah pusing dikepalanya. Ah, sungguh bodoh!
Memangnya dia mau pergi kemana? Bagaimana dia pergi jika
berdiri saja tak bisa, tubuhnya terlalu lemas. Aku mengingatkannya bahwa pergi
dari rumah adalah pilihan yang buruk. Pada saat liburan di bulan Ramadhan
kemarin aku pernah tinggal di sebuah Pondok Pesantren. Dan betapapun buruk
sebuah rumah, jauh lebih nikmat tinggal dirumah buruk itu daripada didalam Pondok
Pesantren. Makan sendiri, cuci piring sendiri, tidur disebuah ruangan tanpa
kasur yang berisi tigapuluh anak. Kuberikan gambaran bagaimana tinggal di
Pondok Pesantren kepada gadis itu. Ia bergidik dan mengurungkan niatnya untuk
pergi, jika di Pondok Pesantren saja bisa seperti itu lalu bagaimana dengan
dunia luar?
***
Sabtu, 1 Nopember 2014. Sudah beberapa hari pasca
kejadian ‘pura-pura sakit’ itu berlalu dan gadis itu melewatkannya dengan hanya
berbicara seperlunya saja pada setiap orang dirumah. Namun hari ini gadis itu
memutuskan untuk melupakan semuanya. Karena hari ini adalah hari dimana
seseorang yang melahirkannya telah terlahir di dunia. Tepatnya 40 tahun yang
lalu. Hari ulang tahun ibunya.
“Menurutmu apa yang harus kuberikan untuk ibuku?” Tanya
gadis itu padaku.
“Jika aku tahu sudah pasti akan kuberitahu daritadi.”
Jawabku.
Hening sejenak. Lalu kemudian dengan cepat gadis itu
sudah berhasil menemukan apa yang harus ia berikan pada Ibunya. Kegembiraan
juga tak bisa hilang dari wajahku ketika tahu apa yang akan gadis itu berikan.
Dan ketika sekolah usai, gadis itu berkata padaku bahwa ia akan pergi membeli
sesuatu untuk orang yang telah membesarkannya. Tak lupa, gadis itu merangkai
kata-kata yang nantinya menjadi teman untuk sesuatu yang ia berikan pada
ibunya. Ia hanya berdoa supaya ibunya suka.
Sesampainya dirumah hari sudah sore, dan betapa
terkejutnya dia ketika melihat ibunya sudah pulang. Padahal biasanya ibu
pulang malam. Beruntung gadis itu sudah menyiapkan semuanya. Setelah
menyegarkan diri gadis itu beranjak menuju tempat ibunya berada, ibunya sedang
berada diteras depan rumahnya sambil memandang langit. Namun langkah gadis itu
terhenti didepan pintu kamar ibunya, napasnya tercekat dan jantungnya berdegup
kencang. Aku yang juga melihatnya ikut berkeringat dingin karena takut.
Buku harian gadis itu ada dikamar ibunya.
“Kak! Kemarilah.” Sebelum gadis itu dapat benar-benar
mencerna apa yng terjadi, ibunya sudah memanggilnya. Refleks, kaki gadis itupun
melangkah ke sumber suara.
Langkah gadis itu gontai, ia takut apa yang akan terjadi
nanti. Kemungkinan terburuk ibunya akan memarahinya habis-habisan. Ya hanya
itu. gadis itu menuliskan segala rasa marahnya pada ibunya dalam buku
hariannya. Dan sekarang ibunya telah membacanya. Apa yang akan terjadi setelah
ini?
“Duduklah, mengapa kau hanya berdiri disitu?” ujar Ibu
gadis itu.
“Emm.. mengapa ibu duduk disini? Jarang sekali ibu
melewatkan waktu hanya dengan duduk-duduk saja.” Hanya itu yang terlontar dari
mulut gadis itu.
“Astaga rambutmu kusut sekali. Ambillah sisir, ibu akan
merapikan rambutmu.” Ucap Ibu gadis itu.
Aku memikirkan apa yang akan ibu gadis itu lakukan pada
anaknya. Mungkinkah ibunya akan menjambak rambut gadis itu ketika merapikan
rambutnya? Ah tidak mungkin! Aku menghilangkan segala pikiran buruk di
kepalaku. Kini gadis itu sedang duduk didepan ibunya, gigi-gigi sisir menari di
sela-sela rambut hitam tebal si gadis yang terurai panjang kebawah.
“Ibu aku minta maaf, aku tahu pasti ibu sudah membaca
semuanya.”
“Mengatakan sesuatu yang tidak pantas dikatakan jauh lebih baik,
daripada menyimpan sesuatu yang seharusnya dikatakan.” Kata Ibu gadis itu.
daripada menyimpan sesuatu yang seharusnya dikatakan.” Kata Ibu gadis itu.
Aku
hanya bisa diam memperhatikan apa yang terjadi disini.
“Komunikasi
itu perlu, katakan apa yang ada dihatimu sehingga orang lain bisa tahu.
Bagaimana bisa kau meminta orang lain mengerti keadaanmu jika takpernah kau
sampaikan bagaimana keadaanmu.” Ibu gadis itu berbicara, namun tidak marah,
tidak memberikan omelan panjang lagi. “kau ingin menikmati senja, bukan?
Nikmatilah senjamu.” Lanjut ibu gadis itu.
Aku
sangat bahagia mendengar hal itu. Gayung telah bersambut. Namun bukannya duduk
dan menunggu datangnya senja, tiba-tiba gadis itu justru masuk kedalam kamarnya
dan mengambil apa yang seharusnya ia berikan pada ibunya. Ia mengangkat hadiah
itu dengan bahagia, bangga, dan sangat lega. Dengan lengkungan manis di
bibirnya, ia pun memberikan itu kepada ibunya.
Sesaat berlalu.
Lalu
kemudian matahari
tenggelam, namun saat itu cahaya masih terlihat di langit. Matahari setinggi 12 derajat di bawah cakrawala di malam hari, dan
cakrawala tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Senja
Nautikal. Gadis itu menikmati saat itu hingga datangnya waktu malam saat cahaya merah (syafak) benar-benar hilang.
Gadis itu sangat bahagia, ia telah
melihat senja, ia menikmati senja, ia merasakan kedamaian dan ketenangan. Aku
turut bahagia, aku benar-benar merasakan apa yang ia rasakan. Hanya aku yang
dapat memahami gadis itu, hanya aku yang dapat mengerti perasaannya, bagaimana
kesedihannya, bagaimana kemarahannya, bagaimana kelelahannya, hanya aku yang
mengerti semuanya. Gadis itu takkan bisa marah padaku, gadis itu tak bisa
berbohong padaku. Karena gadis itu adalah Aku.
***
Saat
yang berlalu. Aku memberikan hadiah yang kuambil dari kamarku berikut rangkaian
kata-kata didalamnya. Ibuku membuka hadiah itu dengan pelan seperti tak ingin
menyakiti isi didalamnya. Dan ketika matanya bertemu dengan apa yang ada
didalam kotak, ia tersenyum.
“Selamat ulang tahun, Ibu.” Ucapku penuh bahagia.
Ibuku mengambil sebuah lipatan kertas berisi rangkaian
kata yang kutulis. Dibukanya dengan pelan lipatan kertas itu dan mulai membaca
isinya.
Selamat ulang tahun kuucapkan untuk
seseorang yang telah membesarkanku
Semoga panjang umur, dan bisa menemaniku
selalu.
Memberikanku nasihat yang membuatku
lebih baik.
Tak banyak yang bisa kuberikan. Hanya
ini sebagai tanda terimakasihku padamu.
Aku tahu bahwa selama ini aku hanya
ingin dimengerti.
Aku juga tahu bahwa banyak sekali yang
kuinginkan didunia ini.
Namun, hari ini aku ingin satu dari
sekian keinginanku terkabul.
Aku ingin melihatmu tersenyum, Ibu.
Tak peduli apakah nanti aku bisa melihat
senja yang sesungguhnya,
Karena kini kupastikan bisa melihat
senja kapanpun yang kumau.
Maka terimalah sepasang senja yang
kuberikan untukmu.
Biarkan sepasang senja itu melindungi
surgamu, Ibu.
Izinkan sepasang senja
itu berada dibawah surgamu.
***
Komentar
Posting Komentar