KUTU

KUTU
           Seorang gadis bersama ibunya sedang bersantai dibawah naungan senja. Gadis itu tidak terlalu cantik, namun tampak manis dengan kulit sawo matang dan hiasan rambut panjang dikepalanya. Sang ibu menuntun gigi-gigi sisir menari di sela-sela rambut hitam tebal si gadis yang terurai panjang kebawah.
            “Rambutmu panjang dan cantik, mirip rambut ibu saat masih muda dulu.” Ujar sang ibu.
            “Menurutku ini terlalu panjang, bu.” Sanggah sang gadis.
            “Diamlah, itu bagus untukmu.”
****
            Rembulan semakin penuh, hewan-hewan kecil bernyanyi riang diluar sana. Si gadis sedang bercengkrama dengan buku tulis di depannya, ia mencoba memahami apa yang ada didalam buku itu. Tapi percuma, sia-sia. Sang ibu ada disebelah gadis itu, menemani si gadis memahami isi buku itu. Gadis itu tidak bisa konsentrasi, jari-jari lentiknya terus menari kasar diantara rambut hitamnya itu. Sang ibu terlihat gemas akan pola anak gadisnya.
            “Apa kau sudah mencuci rambutmu?” kata sang ibu.
            “Sepertinya sudah, mungkin hanya minyak yang terlalu banyak.” Jawab si gadis. Sang ibu lalu meninggalkan anak gadisnya di kamar, memberikan waktu bagi gadis itu untuk dapat memahami isi buku.
****
            Pagi ini langit nampak murung. Sinar mentari yang harusnya bertugas menghagatkan justru sembunyi dibalik selimut. Si gadis pergi ke sekolah sambil terburu-buru khawatir terlambat. Sesampainya di kelas gadis itu merasa sangat tersiksa. Namun ia masih bisa menyimpan ketidaknyamanannya itu dengan rapi. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, pelajaran dimulai, si gadis mengalami penyiksaan itu lagi ketika ia harus berdiri di depan kelas untuk melakukan presentasi tugas biologi bersama kawan-kawannya yang lain, ia berdiri di depan kelas dengan perasaan kacau yang begitu menyiksa. Gadis itu rasanya tidak bisa menahan penyiksaan itu terlalu lama, tapi ia juga tidak mungkin melawan penyiksaan itu disini,di depan kelas disaksikan oleh teman-temannya.
            Di tengah presentasi ia memotong untuk meminta izin pergi ke kamar mandi. Gadis itu melakukan perlawanan sekuat mungkin terhadap apa yang telah menyiksanya. Ia melepas kerudung yang sedari tadi berada di kepalanya dan kurang dari satu detik ia sudah menggaruk kepalanya dengan sangat keras, meluaplah rasa gatal yang sedari tadi menimpanya. Sesuatu yang sedari tadi merayap, mengelilingi, menggerigiti, dan menyelinap di kulit kepalanya kini telah dilawan dengan garukan kuat jari-jarinya. Jari-jari lentik itu berubah menjadi ganas. Tak apa, gadis itu merasa lega, setidaknya ia sudah bisa memusnahkan rasa gatal yang menyiksanya.
****
            Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengucap salam, lalu kemudian masuk kedalam istananya. Kerudung sekolah yang ia kenakan sudah tak karuan. Entah berapa kali ia menggaruk rambut saat dalam kendaraan umum tadi. Rasa gatal itu benar-benar menyiksanya, ia tak tahu apa yang dilakukannya salah. Ini benar-benar menyiksa!
            “Bagaimana kamu bisa berantakan seperti itu? bukankah ibu selalu mengajarimu untuk selalu rapi?” tanya sang ibu yang melihat anak gadisnya kacau.
            “Iya bu, maafkan aku.” Jawab si gadis.
            “Cepat mandi dan cucilah rambutmu agar kau terlihat lebih segar.”
            “Eh, aku sedang datang bulan jadi aku tidak bisa mencuci rambutku bu.” Kata si gadis. Sang ibu menatap wajah anak gadisnya lalu berlalu pergi. Gadis itu diam. Namun perlahan jari-jari lentiknya menari diatas kepala bulatnya.
            Matahari telah berhijrah kearah barat. Senja ini sang ibu sendirian didepan rumah, anak gadisnya masih sibuk didalam kamar. Entah apa yang anak gadisnya itu lakukan. Ibunya nampak kesepian tanpa si gadis. Tapi si gadis masih saja tak menggubris. Lama-lama sang ibu tak tahan juga jika harus sendirian, dipanggilnya si gadis.
            “Apa ada yang bisa kubantu, bu?” sahut anak gadisnya.
            “Bisakah kau temani ibu disini?” jawab ibunya.
            “Maaf bu, masih banyak yang harus kulakukan.”
            Sang ibu agak geram, tak biasanya si gadis tak disampingnya dikala senja. Dengan langkah pasti sang ibu bangkit dari singgahsananya menuju kedalam kamar menenmui anak gadisnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat si gadis hanya tidur di kasur,mata si gadis menerawang ke atas, pikiran gadis mungkin kosong. Nampak dari tatapan matanya. Sang ibu ingin marah tapi ia urungkan, didekatinya anak gadisnya yang manis itu. Dibelainya rambut sang gadis dengan lembut, tapi kemudian mata sang ibu membelalak, pun si gadis juga terkejut dengan kehadiran ibunya.
            “Ibu?!” ucap si gadis terkejut.
            Sang ibu tetap mematung, hening. Sang ibu tak bicara sepatah katapun. Tapi kurang dari sedetik kemudian ia menarik paksa rambut anak gadisnya, matanya mengintrogasi setiap helai yang ada di sana. “Astagaaaaaa!” jeritnya.
            Si gadis tentu saja panik. Ia beranjak bangkit tapi sang ibu masih saja mencengkram rambutnya dengan kuat, bahkan sangat kuat. Tak selang waktu lama mereka sudah ada di kamar mandi, insiden seret paksa baru saja terjadi. Sang ibu mengguyur mahkota hitam milik sang gadis itu dengan air, tak peduli meskipun hari telah beranjak gelap. Sang gadis harus mnadi lagi untuk menyucikan mahkotanya!
            “Aku bisa melakukannya sendiri bu, tolong lepaskan.” Si gadis memohon.
            Sang ibu hanya diam dan terus melakukan ritualnya. Empat sachet sampo menjalar ke setiap inci rambut si gadis. Sang ibu terus menggosok, menggaruk, menarik, dan apapun itu untuk mengusir apa yang dilihatnya tadi. Si gadis hanya bisa pasrah, berharap ini segera usai.
****
            Hembusan angin masuk melalui celah jendela di kamar si gadis. Dinginnya angin menusuk pori-pori kulitnya. Dua hari semenjak insiden rambut itu, sang ibu tak pernah bicara dengannya. Keheningan aksara diantara mereka membuat si gadis gelisah. Tak hanya itu, ia harus menyembunyikan rasa gatal yang kerap kali melanda tanpa kenal waktu. Saat di depan sang ibu, saat makan bersama sang ibu, saat di sekolah, atau saat-saat sendiri seperti ini. Yang paling utama bagi si gadis : ia ‘hanya’ harus berpura-pura tenang seolah tak terjadi apa-apa terhadap dirinya disaat rasa gatal itu menyerang, terutama di depan sang ibu.
            Keesokan harinya, saat si gadis hendak pergi ke sekolah ia menemukan ibunya sedang duduk di depan rumah, tempat mereka biasa bersantai dikala senja. Si gadis yang merasa dirinya bersalah mendekati ibunya, hendak minta maaf lagi.
            “Tidak terasa sudah 14 tahun ibu membesarkanmu.” Sebelum si gadis mengucapkan kata ‘maaf’, sang ibu mendahului berkata. Sang ibu pun menatap anak gadisnya yang mematung di tempat. “Cepatlah berangkat sebelum kau terlambat.” Lanjut sang ibu.
            Si gadis pun pergi.
            Tak banyak hal yang dilakukan sang ibu saat anak gadisnya pergi ke sekolah, hanya menjahit. Dan tugas menjahitnya sedang banyak hari ini, jadi tak masalah bagi sang ibu untuk tidak menghabiskan waktu bersama si gadis. Berbeda dengan si gadis yang selalu merindukan ibunya. Tapi siang ini, si gadis akan dapat kejutan!
            Si gadis harusnya senang dengan kenyataan bahwa saat pulang sekolah ini dia telah ‘diselamatkan’ ibunya. Sang ibu telah mengoleskan tiga botol obat pembasmi kutu ke mahkotanya. Si gadis harus menunggu satu jam untuk bisa membuka kepalanya yang terbungkus handuk setelah diolesi obat itu, baru ia bisa keramas dan merasa lega. Menyiksa. Tapi bukankah itu untuk kebaikannya?
            Setiap hari dengan telatennya sang ibu merawat rambut anak gadis yang satu-satunya itu. entah berapa obat pembasmi kutu yang telah ia beli. Tapi hasilnya? Nihil! Perkembangan kutu-kutu kecil itu sangat pesat, apalagi untuk ukuran rambut sepanjang pantat milik si gadis. Tentu saja telur-telur dari kutu itu akan menyebar luas dimana-mana. Tapi sang ibu tak kehabisan akal untuk menolong anak gadisnya, ia kini justru memberikan sampo mengerikan yang harus dipakai oleh si gadis : deterjen. Sang ibu percaya jika deterjen akan ampuh menolong si gadis.
            Tapi, terkadang yang diharapkan tak sesuai kenyataan. Bukankah hidup sering seperti itu? Dua minggu berlalu tanpa hasil. Sampo mengerikan yang dinilai ampuh itu tak cukup handal menolong si gadis. Tak ada hari tanpa rasa gatal.
            “Ibu, akan terlalu sulit bagimu membersihkan kutu dari rambut sepanjang ini.” Ucap si gadis pada ibunya di suatu senja.
            Ibunya tak mendengarkan, sang ibu tetap optimis jika anak gadisnya bisa sembuh dari serangan kutu itu, dan di senja itu pula saat matahari hampir tertutup mega merah, sang ibu membawa sesuatu yang lagi-lagi dirasa ampuh membasmi kutu! Semprotan pembasmi nyamuk! Sontak saja si gadis terkejut melihat itu, ia tidak ingin terus-menerus seperti ini.
            “Ibu, hentikan semua ini. Tak aka nada hasilnya, semua itu hanya akan menyiksaku. Rambutku harus dipotong!” tegas si gadis senja itu.
            Sang ibu terkejut mendengar itu, terutama pada kalimat terakhir. Hatinya dipenuhi penolakan mendengar pendapat anak gadisnya. Tapi ada sisi lain dimana dirinya membenarkan kalimat si gadis. Wajahnya murung, ia kini lesu, tak bersemangat. Rasa optimisnya akhir-akhir ini pudar. Mungkin seharusnya ia sadar usahanya selama ini seperti cerita yang tak akan ada ujungnya. Sang ibu menarik nafas dalam, sangat dalam. Sebelum akhirnya ia berkata:
            “Besok kita akan ke salon.”
****
            Tempat asing. Seumur hidup si gadis tak pernah masuk ke salon, baru pagi ini. Ia tak menyangka. Si gadis duduk didepan cermin salon dengan tenang. Sang ibu masih sama, tidak meninggalkan wajah murungnya. Tak ada Rapunzel lagi sebentar lagi. Pegawai salon dengan cekatan memainkan gunting di tangannya, helai demi helai jatuh ke lantai. Kurang dari setengah jam rambut si gadis sudah pendek. Sedikit dibawah daun telinga. Potongan rambut sengaja dibuat model bersusun. Sungguh berbeda!
            “Apa rambutnya mau dicatok juga? Itu akan membuat telur kutunya mati.” Kata pegawai salon pada sang ibu. Sang ibu hanya bisa mengangguk pasrah.
            Petugas salon itu melakukan tugasnya dengan sangat baik. Si gadis melihat pantulan dirinya di cermin. Ia takjub, sempurna!

            Aku berhasil. Kata sang gadis dalam hati dengan penuh kemenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRAKTIKUM KESETIMBANGAN BENDA TEGAR

MAKALAH ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA