FACT

FACT
            Bintang bertugas dengan baik di angkasa, kilaunya memancarkan cahaya kehangatan, menenangkan setiap hati yang berada dibawah naungannya. Angin bertiup lembut, menggetarkan jiwa untuk ikut terhanyut dalam belaiannya. Hanna menatap lurus ke atas, dipandanginya bintang-bintang nan indah bertaburan disana. Ia menutup mata, mencoba membiarkan angin membawa seluruh duka laranya. Gagal. Angin tak membawa pergi duka yang ia pendam sejak tadi, bintang tak memberi kehangatan pada hatinya yang hampa. Semuanya sia-sia. Hanna tersenyum, mencoba membiarkan luka itu merasuki tubuhnya.
            Kabar pahit itu membuatnya tak sanggup berkata-kata. Kabar itu sangat menyakitinya. Ia ingin tak memercayai kabar itu, tetapi hatinya berkata bahwa kabar itu benar. Benarkah? Hanna hanya bisa tersenyum. Ia hanya perlu bersikap manis seolah tiada yang terajadi didepan semua orang. Ia hanya ingin terlihat tegar didepan semua mata yang menatap kasihan kearahnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
            Hanna menatap langit, bintang yang tadinya bertaburan kini hilang tertutup mendung. Tiupan lembut sang angin, kini menjadi dingin yang sangat menusuk. Dinginnya masuk kedalam sel-sel tubuh, menyayat hati yang kering karena luka. Hanna ingin menjerit, tapi ditahannya. Ia percaya bahwa dirinya sanggup melewati ini semua. Meskipun.. meskipun hal itu tak mudah. Seseorang yang selalu dijadikannya panutan, seseorang yang sosoknya bagai pahlawan, seseorang yang dirasa selalu bisa melindunginya, kini berubah menjadi seseorang yang mengerikan, menjadi seseorang yang tak pernah ada dalam pemikiran Hanna sebelumnya. Kenyataan itu telah membuat Hanna kecewa. Kekecewaan yang sangat amat dalam.
            Bukannya tenang, kini Hanna panik saat didekat orang itu. Hanna merasa takut. Kenyataan ini menyakitkan. Meskipun ia ingin tak mempercayai kabar itu, tapi ia tetap takut. Hatinya percaya akan kabar itu. Setiap Hanna mendengar suara orang itu datang― “Assalamualaikum” ―Hanna berlari ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya. Ketika suara orang itu berkata “sudah makan, nak?”, Hanna berbaring diatas kasur dan berpura-pura tidur. Berpura-pura tidak mendengar apapun. Hatinya terus bergejolak, jantungnya berdegup kencang. Kapan tiba giliranku? Rintih suara hatinya.
            Hanna tak tau harus berbuat apa ketika pahlawannya menjadi menakutkan. Kenyataan ini membuatnya ingin menangis, ia ingin mengadu pada Tuhan bahwa kenyataan ini sungguh menyakitkan. Ia ingin menjerit dan meronta, mengeluarkan sesak yang selalu ia pendam. Meluapkan isi hatinya yang sebenarnya, memusnahkan senyum palsu yang selalu ia ukir di bibir tipisnya. Angin yang berhembus kini semakin dingin, Hanna mendekapkan kedua tangannya didepan dada, ia menutup matanya… mencoba mencari kehangatan ditengah malam sunyi.

            Air bening menetes dari atas dan jatuh ke telapak tangan Hanna, entah itu air hujan atau kerlipan yang jatuh dari matanya. Hanna bangkit, ia menutup jendela dan berbaring dikasurnya. Ia hanya ingin memejamkan mata dan terlelap, terlelap menuju kedunia mimpi dan melupakan seluruh dukanya. Seluruh laranya. Seluruh deritanya. Ia hanya ingin bermimpi, mimpi baik atau mimpi buruk sama saja. Tak apa baginya. Karena mimpi buruk yang ia dapatkan, kini jauh lebih indah dari kenyataan yang harus ia hadapi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRAKTIKUM KESETIMBANGAN BENDA TEGAR

MAKALAH ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA